Liputan6.com, Jakarta - Konflik Rusia-Ukraina makin berlarut setelah Rusia melancarkan serangan ke wilayah Ukraina. Terbaru, pasukan Rusia bergerak ke dekat Chernobyl dan membawa ketakutan tersendiri.
Bagi yang tidak tahu, pada tahun 1986 di Chernobyl, Ukraina --yang dulu merupakan wilayah Uni Sovyet-- pernah terjadi ledakan reaktor nuklir nomor 4 di Vladimir Lenin Nuclear Power Plan. Ledakan ini adalah kecelakaan pembangkit listrik nuklir terparah di dunia.
Advertisement
Situs tersebut tidak ditinggali manusia hingga kini dan menjadi kota hantu karena bahaya radioaktif yang ditimbulkannya. Sampai saat ini, di situs tersebut masih mengandung puing-puing radioaktif.
Menurut informasi, termasuk dari penasihat presiden Ukraina, Mykhailo Podolyak, pasukan Rusia telah merebut pembangkit listrik bertenaga nuklir tersebut.
"Mustahil mengatakan pembangkit listrik tenaga nuklir Chernobyl aman setelah serangan oleh Rusia. Ini adalah salah satu ancaman paling serius di Eropa saat ini," kata Podolyak, seperti diberitakan Reuters.
Namun, Badan Energi Atom Internasional mengatakan dalam pernyataan, menurut badan pengawas Ukraina, saat ini tidak ada korban atau kehancuran di lokasi reaktor nuklir tersebut.
The Verge bertanya mengenai masalah ini sejumlah ahli kebijakan nuklir dan kemungkinan situasi terburuk di Chernobyl. Meski skenario terburuk mungkin tak akan terjadi, konflik yang berlangsung di Ukraina diperkirakan membuat lokasi sensitif ini bakal makin sulit dikelola.
Menurut Asosiasi Nuklir Dunia, reaktor nuklir seberat 200 metrik ton di ruangan pembangkit tersebut merupakan bahan radioaktif berkapasitas tinggi dan masih tersimpan di sisa-sisa reaktor yang meledak pada 1986.
Saat itu, reaktor gagal dalam uji coba sehingga melepaskan partikel radioaktif dalam ledakan dan kebakaran. Sekitar 50 orang tewas sebagai akibat langsung dari insiden tersebut. Laporan PBB pada 2005 menyebut, puluhan ribu orang mungkin terkena dampak radiasi.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Bangun Kubah Baja untuk Lindungi dari Radiasi
Guna mencegah penyebaran bahan radioaktif, saat itu tim membangun kotak menyerupai sarkofagus untuk mengubur sisa-sisa reaktor. Satu dekade kemudian, para pejabat memutuskan membangun kubah penutup dari material baja agar lokasi ini lebih aman.
Struktur kubah penahan tersebut memungkinkan pembersihan dengan derek yang dilakukan dari jarak jauh. Peralatan lainnya di dalam kubah tersebut juga disediakan untuk membongkar sisa reaktor dan mengeluarkan bahan bakar radioaktif.
Menurut fisikawan dan co-direktur Program Kebijakan Nuklir di Carnegie Endowment for International Peace, James Acton, jika struktur tersebut rusak dan ada ledakan di dalamnya, hal ini bisa membangkitkan bahan radioaktif yang tersisa dan melepaskan emisi radioaktif.
Kerusakan tersebut dinilai bisa menimbulkan kecelakaan dan merusak kubah penahan, yang sebenarnya dirancang untuk bisa menahan tornado sekalipun. Kekhawatiran terbesar ada pada bahan bakar bekas tiga reaktor lainnya yang dinonaktifkan di Chernobyl.
Menurut Ilmuwan Nuklir Chery Rofer, bahan bakar bekas dari reaktor tersebut lebih bersifat radioaktif ketimbang yang sudah diasingkan di dalam kubah raksasa, karena bahan bakar belum lama ini dikeluarkan dari reaktor. Bahan bakar bekas tersebut dipindahkan ke kolam pendingin terdekat yang berfungsi sebagai penyimpanan sementara.
Fisikawan Acton menyebut, hingga kini belum pernah ada kecelakaan serius yang melibatkan bahan bakar bekas reaktor. Namun jika terjadi sesuatu dan menyebabkan kolam pendingin yang kurang terlindungi itu rusak dan terkuras, bahan bakar yang tersisa dapat meleleh dan melepaskan gas serta partikel radioaktif.
Advertisement
Skenario Terburuk Mungkin Tak Terjadi
Hingga 2020, sebagian dari bahan bakar bekas sudah dipindahkan ke fasilitas penyimpanan yang lebih permanen dan lebih banyak sisanya akan dipindahkan dalam beberapa tahun ke depan.
Fasilitas penyimpanan kering tidak memerlukan air pendingin, baja, atau semen di dalam material yang seperti pada kolam pendingin.
"Tong tidak dirancang untuk menahan serangan, meski begitu tong penyimpanan tersebut sangat kuat dan kokoh. Namun jika rusak, tong-tong ini bisa melepaskan bahan radioaktif," kata Acton.
Acton menyebut, skenario terburuk ini mungkin tidak terjadi. "Paling tidak karena Rusia tidak memiliki alasan yang masuk akal untuk menyerang reaktor," katanya.
Hal tersebut bakal sangat berisiko bagi seluruh wilayah, terutama bagi negara berbatasan dengan Chernobyl, yakni Belarusia yang merupakan sekutu Rusia.
Menurut Acton pula, dalam serangan yang tidak disengaja, kecil kemungkinan kolam pendingin atau tong penyimpanan akan rusak parah. Selain itu, dengan wilayah Chernobyl yang tidak dihuni, sangat sedikit orang yang mungkin terpengaruh oleh peristiwa berskala kecil.
Wilayah Chernobyl Harusnya Penuh Stabilitas dan Perdamaian
Sebagai informasi, wilayah komplek Chernobyl dievakuasi setelah meledaknya reaktor nuklir Lenin pada 1986. Meski begitu, hingga kini tetap menjadi Zona Ekslusi yang ditutup.
Sampai hari ini, diyakini masih ada bahan radioaktif di puing-puing bangunan, tanah, dan dedaunan di sekitar pembangkit. Rofer mengatakan, bahan radioaktif telah meluruh ke titik di mana tidak akan membawa bahaya langsung.
Meski begitu, material ini masih berpotensi bersifat karsinogenik bagi orang-orang dengan tingkat paparan tertentu.
Hal ini pun mengkhawatirkan bagi profesor sains MIT Kate Brown. Menurutnya, gangguan baik itu dari manusia atau alam bertentangan dengan tujuan zona penahanan yang dirancang menjaukan orang dari efek radioaktif daerah tersebut.
Sebelumnya pada 2020, asap dari kebakaran yang melanda Zona Ekslusi Chernobyl membawa sedikit partikel radioaktif ke beberapa bagian Eropa Timur dan Tengah.
Menurut artikel di jurnal Nature, dosis kebakaran tersebut, secara radiologis tidaklah signifikan dan diperkirakan tidak memberi dampak kesehatan pada populasi Eropa.
Meski begitu, Brown tetap khawatir tentang kemungkinan kebakaran dan gangguan lain yang bisa menyebarkan radioaktivitas di luar Zona Ekslusi.
"Ini masalah berkelanjutan, seharusnya wilayah tersebut dibiarkan tidak tersentuh. Wilayah tersebut menuntut stabilitas dan perdampaian," katanya.
(Tin/Ysl)
Advertisement