Dikritik Susi Pudjiastuti, Ini Penjelasan KKP soal Kebijakan Penangkapan Terukur

Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur justru untuk memperbaiki tata kelola penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia.

oleh Tira Santia diperbarui 25 Feb 2022, 16:37 WIB
Nelayan tradisional menurunkan hasil tangkapan ikan di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Sabtu (19/2/2022). Nelayan mengatakan hasil tangkapan ikan mulai membaik seiring pergantian musim dan angin barat. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menanggapi kritikan dari Ketua Umum Pandu Laut Nusantara Susi Pudjiastuti terkait kebijakan pemberian kuota sistem kontrak dalam kebijakan penangkapan terukur.

Staf Khusus Bidang Komunikasi dan Kebijakan Publik sekaligus Jubir Menteri KP Wahyu Muryadi menjelaskan, kebijakan tersebut justru untuk memperbaiki tata kelola penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia.

“Selama ini negara hanya mengijon sumber daya ikan kepada para pelaku usaha. Asal bayar perizinan sekian juta silakan tangkap ikannya. Sepuasnya, barbar. Berapa pun hasilnya banyakan tidak tercatat, unreported menjadi rezeki pelaku usaha,” jelas Wahyu kepada Liputan6.com, Jumat (25/2/2022).

Berdasarkan catatan yang dimiliki KKP, nilai produksi tangkapan ikan yang dinikmati para pelaku usaha berkisar Rp 224 triliun dengan setoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) hanya Rp 600 miliar alias 0,02 persen.

“Seupil banget, bandingkan dengan Thailand yang lautnya lebih sempit, tapi PNBP-nya gede dan kabarnya Rp 35 triliun. Baru tahun lalu angka PNBP perikanan tembus Rp 1 triliun,” ujarnya.

Menurutnya, kelak sistem ini diubah dengan tata kelola yang mengedepankan prinsip menjaga ekosistem dan biota laut demi kesehatan laut, dan kelestarian laut Indonesia. Lantaran, terdapat wilayah penangkapan perikanan (WPP) 714 di sekitar Laut Banda yang dijadikan wilayah konservasi, yang tidak boleh diambil pelaku usaha maupun industri.

“Ini dijadikan tempat pemijahan dan pengasuhan ikan (spawning and nursery ground). Jumlah tangkapan ikan yang dibolehkan mengacu pada perhitungan Komnas Kajiskan diperkirakan untuk seluruh wilayah pengelolaan ikan RI maksimal 6 juta ton,” katanya.

Di mana setiap peserta kontrak dan penerima kuota akan menyetor kepada negara dalam presentase tertentu yang dihitung pascaproduksi alias ditimbang setelah menangkap ikannya. Kalau menangkap melebihi kuota, maka akan dikenakan penalti dan dievaluasi setiap tahun.

Tentunya, semua operasi ini akan dikontrol dengan teknologi satelit dan diawasi Ditjen pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan (PSDKP).  Wahyu menyebut, sistem kuota ini sudah diterapkan di banyak negara maju.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Soal Kapal Asing

Nelayan menurunkan ikan hasil tangkapan laut di Muara Baru, Jakarta, Kamis (29/3). Untuk mendorong ekspor komoditas perikanan KKP akan memberikan bantuan alat penangkapan ikan yang ramah lingkungan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lebih lanjut, Wahyu memastikan kapal asing atau PMA tidak boleh sembarangan masuk ke wilayah perairan Indonesia. Terdapat persyaratan ketat yang harus dipenuhi sebelum masuk, terutama kapalnya harus berbendera Merah Putih.

Tak hanya itu saja, kapal asing Anak Buah Kapal (ABK) wajib semuanya WNI yang tentunya akan dibutuhkan rekrutmen dalam jumlah besar. Kemudian, syarat lainnya kapal wajib mendaratkan ikannya di pelabuhan perikanan tempat asal izin diberikan agar diproses di daerah tersebut.

Tujuannya agar daerah yang telah ditunjuk mendapatkan nilai tambah dan rezeki lainnya. Tidak boleh ada transhipment (alih angkut) di tengah laut, karena sifatnya tidak lagi Jawasentris.

“Kebijakan ini diharapkan bisa memicu pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah. Jadi, hasil tangkapan ikan dari Maluku atau Sulawesi misalnya yang selama ini piknik, mati berkali-kali sebelum didaratkan di Pelab.Muara Baru Jakarta, maka kelak tidak boleh lagi,” ujarnya.

Dia menegaskan, semuanya harus didaratkan di pelabuhan terdekat bahkan juga kelak bisa diekspor dari kawasan asal ikan ditangkap. Hal ini dilakukan sekaligus perlu pembenahan dan revitalisasi pelabuhan perikanan RI di berbagai daerah yang masih tradisional, tak dikelola dengan baik bahkan jorok.

“Investor asing dan domestik yang berminat merevitalisasi pelabuhan dipersilakan untuk kemudian mendapatkan hak kelola. Kuota jg akan diberikan untuk zona industri, zona nelayan lokal (berbasis KTP), dan zona hobi/rekreasi semisal memancing. Intinya semua pemanfaatan sumberdaya laut dan ruang laut harus diatur,” jelasnya.

Bahkan melalui kebijakan ini, pemain domestik dan pemilik kapal existing masih diberi kesempatan untuk menangkap ikan dengan sistem paska produksi. Bahkan, jika mereka berminat mengikuti sistem kontrak juga dipersilakan, termasuk nelayan tradisional berskala kecil (one day fishing di bawah 5 grosston) juga diberikan kuota penangkapan, dengan membentuk koperasi yang diharapkan bisa meningkatkan pendapatan mereka.

“Pada akhirnya negara juga akan mendapatkan pemasukan dari aneka pajak (PPH PPN), ekspor dan PNBP, juga terjadi perputaran uang yang semarak di daerah-daerah. Pelabuhan perikanan menjadi modern, bersih, dan sehat, serta rakyat utamanya nelayan kecil lebih sejahtera,” pungkas Wahyu.

 


Kritik Susi Pudjiastuti

Nelayan memindahkan ikan laut hasil tangkapan di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta, Kamis (26/10). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyatakan hasil ekspor perikanan Indonesia menunjukkan peningkatan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Ketua Umum Pandu Laut Nusantara Susi Pudjiastuti mengkritik kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. Susi meminta agar kebijakan tersebut ditinjau kembali.

"Sebaiknya Pak Menteri KP @saktitrenggono melakukan peninjauan kembali rencana kuota dan konsesi wilayah tangkap di laut. Sebaiknya pengelolaan laut tidak dijadikan atau disamakan seperti pengelolaan hutan dengan HPH-nya," tulis Susi ikutip dari akun Twitter pribadinya @susipudjiastuti.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Periode 2014-2019 itu juga mengkritik soal pembagian zona penangkapan ikan terukur di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).

"7 WPP (WPP 'basah') diberikan untuk kuota industri. Hanya 3 WPP untuk kuota nelayan tradisional. Ini bertentangan dengan pernyataan Direktur Perikanan Tangkap yang menyatakan akan mengutamakan rakyat, baru industri," pungkas Susi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya