Duka Sopir Truk di Indonesia, Upah Minim tapi Pikul Beban Berat

Pengemudi truk di Indonesia cenderung lebih banyak menanggung beban logistik.

oleh Tira Santia diperbarui 26 Feb 2022, 18:00 WIB
Ribuan sopir truk demo menolak kebijakan ODOL di kantor Dinas Perhubungan Jatim. (Dian Kurniawan/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Pengamat transportasi sekaligus Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno, mengatakan pengemudi truk di Indonesia cenderung lebih banyak menanggung beban logistik.

“Saat ini pengemudi truk sudah jarang yang membawa kernet. Dampaknya, regenerasi pengemudi truk terhambat alias tidak ada. Biasanya sopir belajar mengemudi ketika dia menjadi kernet, menggantikan sopir yang Lelah,” kata Djoko dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (26/2/2022).

Namun, karena saat ini ongkos muat kembali ke angka di tahun 2000-an, sudah terlalu minim, maka perolehan bagi hasil antara pengemudi dengan pengusaha truk pun anjlok.

Sebelum tahun 2000 pengusaha truk pun berani mengambil kredit armada truk baru jika memiliki sudah memiliki 1 truk lunas. Istilahnya 1 menggendong 1, akan tetapi saat ini 3 armada truk lunas baru bisa menghidupi 1 armada truk kredit. Atau kredit truk dibayar dengan dana hasil kerja lainnya. Jika mendapat kontrak mengangkut barang senilai Rp 5 juta, dibagi dua, Rp 2,5 juta buat sopir dan Rp 2,5 juta buat pemilik kendaraan.

Namun prosentase tidak harus fifty-fifty. Barang yang berpotensi dicuri, sopir (55 persen) dan pemilik truk (45 persen). Jika barang yang diangkut tergolong aman, pembagiannya sopir (45 persen) dan pemilik truk (55 persen).

Sopir truk menanggung pengeluaran untuk pembelian bahan bakar minyak (BBM), tarif tol, makan dan minum, MCK, pungutan liar, petugas resmi, tilang, tarif parkir, pecah ban dan berbagai retribusi lainnya.

Sementara pengusaha angkutan akan menanggung angsuran kredit kendaraan, penyusutan kendaraan, penggantian ban, oli dan suku cadang, stooring dan derek, perijinan dan surat menyurat, Kalau ketahuan overload, maka pengemudi membayar tilang sebesar Rp 500 ribu.

Tapi dia ingin muat overload agar ongkosnya tinggi dan secara otomatis bagi hasilnya juga tinggi.Menurut Djoko, sebenarnya tidak ada pengemudi truk yang terpaksa muat lebih. Itu pilihan pengusaha dan pengemudi. Akibat tekanan ongkos murah dari pemilik barang,” ujarnya.

“Jika ongkos bagus dan muatan ringan, pengemudi dan pengusaha angkutan sama-sama happy. Karena sebenarnya yang dikejar itu nilai ongkosnya. Itulah suka duka pengemudi truk di Indonesia,” katanya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Irit BBM

Truk melintas di ruas Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Apalagi kalau BBM irit, tidak harus lewat jalan tol (tarif tol mahal), tidak ada preman, tidak ada petugas menjahili, tarif parkir murah, tidak ada retribusi, maka berbahagialah sang pengemudi truk.

Namun sebaliknya, jika penggunaan BBM boros, harus lewat jalan tol, banyak preman, banyak petugas jahil, tarif parkir mahal dan banyak retribusi, maka celakalah nasib pengemudi truk.

Selain mengakibatkan kaderisasi pengemudi truk jadi terhambat, banyaknya pengemudi truk yang tidak membawa pendamping atau kernet sama sekali juga menyebabkan tingginya angka kecelakaan tunggal.

Sebab waktu dan tenaga yang mestinya sopir gunakan untuk istirahat terpaksa dia gunakan untuk melakukan pekerjaan kernet. Biasanya jika ada kernet, pengemudi bisa tidur saat bongkar dan muat barang.

“Namun tidak adanya kernet mengharuskan pengemudi harus melakukan penghitungan barang yang dibongkar dan dimuat. Mekanisme bongkar muat barang harus diperbaiki,” pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya