Liputan6.com, Jakarta Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menyampaikan, perang Rusia-Ukraina akan menyulut kenaikan harga minyak dunia hingga mencapai level tertinggi sebesar USD 105 per barel.
Dia menyebut, situasi ini, tidak menguntungkan sama sekali bagi Indonesia. Sebab, Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor terbesar komoditas minyak mentah.
Advertisement
"Sebagai negara net importer, Indonesia tidak diuntungkan sama sekali atas kenaikan harga minyak tersebut. Bahkan, membumbungnya harga minyak itu justru merugikan dan memperberat beban APBN," ujarnya kepada Merdeka.com, Sabtu (26/2).
Dalam kondisi tersebut, Pemerintah diminta tidak cukup hanya memantau perkembangan yang terjadi. Tetapi, harus mengantisipasi dan membuat proyeksi harga minyak yang menjadi dasar dalam mengambil keputusan terkait harga BBM di dalam negeri.
"Kalau harga BBM tidak dinaikkan, Pertamina harus menjual BBM di bawah harga keekonomian, yang berpotensi menanggung beban kerugian," ujarnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Beban Pertamina
Namun, lanjutnya, beban kerugian Pertamina tersebut bisa diganti oleh pemerintah dalam bentuk dana kompensasi. Kenaikan harga minyak dunia tidak begitu berdampak terhadap Pertamina, tetapi akan memperberat beban APBN
Untuk mengurangi beban APBN, pemerintah harus memutuskan kebijakan terhadap harga BBM. Antara lain menaikkan harga Pertamax sesuai harga pasar, menghapus Premium yang subsudi content tinggi, tidak menaikan harga Pertalite dengan mengalihkan subsidi Premium, sehingga harga Pertalite tidak dinaikkan.
"Tapi, kenaikan harga Pertalite akan punya dampak domino menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli rakyat. Pasalnya, jumlah konsumen BBM terbesar dg proposi mencapai 63 persen," ungkapnya.
Selain itu, Pemerintah perlu membuat penyesuaian ICP secara proporsional yang disesuaikan dengan perkembangan harga minyak dunia.
Advertisement