Mengumpulkan Bekal Jadi Pengusaha Kopi lewat Banyuwangi Coffee Week

Di Banyuwangi kini banyak anak-anak muda yang mencoba peluang di ekosistem pengolahan kopi.

oleh Hermawan Arifianto diperbarui 27 Feb 2022, 12:30 WIB
Bupati Ipuk Fiestiandani tinjau lapak kopi di acara Banyuwangi Coffee Week Festival. (Istimewa)

Liputan6.com, Banyuwangi - Ngopi tidak hanya menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia, namun juga bagian dari peluang bisnis. Kini, banyak anak muda di Banyuwangi yang mencoba peluang di ekosistem pengolahan kopi.

Memfasilitasi anak-anak muda menjadi wirausaha kopi, Banyuwangi menggelar Banyuwangi Coffee Week di Gedung Djuang 45 pada 25 sampai 27 Februari 2022.

Di Banyuwangi Coffee Week bisa disebut menjadi surganya penikmat kopi. Selama tiga hari acara, hadir para ahli kopi dan berbagai produk kopi Banyuwangi. Sebut saja  Iwan Subekti, yang merupakan tester kopi dan telah berkeliling ke penjuru dunia sebagai juri kopi seperti  Brasil, Amerika Serikat, Jepang, negara-negara Asia Tenggara, dan lainnya.

Kopai Osing, produk kopi milik Iwan yang telah terkenal dan menjadi rujukan cara mengolah kopi dengan benar juga ada di acara ini. Selain Kopai Osing, berbagai produk hasil olahan pelaku usaha kopi Banyuwangi di sekitar kawasan Kawah Ijen dan Gunung Raung juga dihadirkan di Banyuwangi Coffee Week, seperti Kopi Telemung, Kasela Coffee, House of Coffee, Leaf Coffee, Kemangi Coffee, Coffee Wangi, dan serta berbagai produk kopi Banyuwangi lainnya.

Menurut Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, di Banyuwangi kopi sedang tumbuh dengan pesat. Oleh karena itu, kopi Banyuwangi menjadi salah satu produk Indonesia yang terus mengalami kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat.

"Kini di Banyuwangi telah banyak muncul kedai-kedai kopi yang dikelola anak-anak muda Banyuwangi," kata Bupati Ipuk

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Penghasil Kopi Terbesar

Berdasarkan data pada Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Banyuwangi pada 2021 Banyuwangi menghasilkan kopi sebesar 10.575 ton. Hal ini menjadikan Banyuwangi menjadi salah satu penghasil kopi terbesar di Jawa Timur.

Kopi yang dihasilkan di Banyuwangi didominasi perkebunan rakyat. Berbagai produk kopi Banyuwangi juga telah diekspor ke berbagai negara.

"Melalui Banyuwangi Coffee Week, diharapkan mampu meningkatkan ekonomi kreatif di sektor kopi lokal Banyuwangi. Ini menjadi wadah bagi anak-anak muda Banyuwangi, mulai dari yang akan hingga telah menjadi entreprenuer di bidang kopi," kata Ipuk.

Ipuk mengatakan Banyuwangi Festival bukan hanya sekadar seremonial saja, melainkan harus ada unsur pertumbuhan ekonomi. Melalui Banyuwangi Coffee Week ini diharapkan banyak yang terdorong menjadi wirausaha kopi.

"Selain itu bisa menjadi ajang pertemuan para pelaku kopi, bisa saling mengenal, saling membantu, yang endingnya ada hubungan bisnis to bisnis," ucap Ipuk.

Banyuwangi Coffee Week juga menghadirkan coffee coaching clinic bagi mereka yang ingin terjun di dunia kopi. Puluhan anak muda dari berbagai kalangan, seperti santri dari pondok pesantren, pemuda gereja, dan lainnya ikut dalam coaching clinic yang dipandu oleh Bayu Satria dari Coffee Wangi.

Di coaching clinic tersebut dilatih cara mengolah dan menjadi barista kopi, mulai cara menggoreng hingga penyeduhan kopi.

"Saya suka kopi dan tertarik untuk mendalami kopi. Di sini saya diajarkan bagaimana cara mengolah kopi," kata Yusril Hamdani, santri dari Pondok Pesantren Al Anwari Banyuwangi.

 


Sejarah Industri Kopi Banyuwangi

Dalam Banyuwangi Coffee Week juga diperkenalkan sejarah industri kopi di Banyuwangi. Industri kopi mulai hadir di Banyuwangi sekitar abad ke-17 M. Banyuwangi yang memiliki lahan cukup luas di lereng Gunung Ijen, sangat mendukung keberlangsungan program penanaman kopi.

Mencermati perkembangan niaga yang semakin menjanjikan, membuat Clement de Harris, Residen pertama Besuki, memutuskan untuk menanam kopi di perkebunan Sukaraja (kini Kecamatan Giri) pada tahun 1811. Perkebunan tersebut kemudian dijadikan lahan pembibitan kopi. Namun, kurangnya penduduk yang tinggal di Banyuwangi kala itu menyulitkan pemerintah kolonial untuk memenuhi target produksi.

Selain Sukaraja, dalam rentang waktu 1818-1865 ada beberapa perkebunan baru di wilayah Banyuwangi Selatan yang sengaja dibuka untuk memenuhi target produksi, seperti di Desa Genteng ada 36 kebun dan Desa Parijatah ada 32 kebun. Dengan jumlah rata-rata setiap kebun mampu menanam antara 1.565-11.410 pohon,  selama 1887-1889 produksi kopi di Afdeling Banyuwangi masih mampu mencatatkan hasil sebesar 13.630 piku.

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya