Liputan6.com, Jakarta - Pimpinan Pusat Muhammadiyah meminta para elite politik untuk menghentikan wacana penundaan Pemilu 2024 dan mendorong mereka untuk bersikap bijaksana serta mementingkan kepentingan bangsa di atas kepentingan individu atau kelompok.
"Janganlah menambah masalah bangsa dengan wacana yang berpotensi melanggar konstitusi," ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu 26 Februari 2022.
Mu'ti mendesak para elite untuk tidak menambah masalah dengan melanggar undang-undang. Para elite justru diminta mampu memahami keadaan dan perasaan masyarakat.
Ia pun menyarankan untuk tidak menjadikan survei sebagai patokan yang mesti dipedomani. Karena bagi dia, bisa saja survei yang dilakukan datanya begitu lemah dan tidak akurat.
Baca Juga
Advertisement
"Sebaiknya wacana menunda Pemilu yang berimplikasi pada perpanjangan masa bakti Presiden-Wakil Presiden, Menteri, DPD, DPR, dan DPRD serta jabatan terkait lainnya diakhiri. Mari berpikir jernih dan jangka panjang," kata dia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Wacana Perpanjangan Jabatan
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari mengkritisi munculnya isu perpanjangan masa jabatan Presiden. Dia lalu berbicara sejarah godaan perpanjangan masa jabatan pada era Presiden Soekarno dan Soeharto.
"Secara sejarah di Indonesia Bung Besar Presiden Soekarno sendiri selaku orang yang kemudian salah satu orang yang memgusul pembatasan masa jabatan presiden juga tergoda, sampai kemudian menerima keinginan MPR untuk menjadikannya presiden seumur hidup, dengan itu dia sudah bisa memimpin hingga lama sekali," ungkapnya dalam diskusi 'Tolak Penundaan Pemilu 2024' secara daring, Sabtu 26 Februari 2022.
"Presiden Soeharto juga mengalami hal yang sama godaan untuk terbawa kepada bujuk rayu partai partai kepentingan politik tertentu termasuk keinginan dia sendiri," sambung ahli hukum tata negara ini.
Menurutnya, isu perpanjangan masa jabatan saat ini mustahil bila bukan keinginan presiden yang menjabat. Presiden hanya 'menitip bibir' ke para partai politik pendukungnya.
"Jadi mustahil itu tidak keinginan presiden, karena tidaklah mungkin partai partai itu menyampaikan secara terbuka karena yang dilawannya adalah konstitusi maka mustahil itu tidak keinginan dari seorang presiden, hanya menitip bibir dan mulut dari ketua partai saja," ujarnya.
Oleh karena itu, kata Feri, berbahaya bagi demokrasi seolah-olah sistem presidensial dibangun untuk memberi kesempatan kepada presiden menjadi raja. Padahal sistem yang ada di Indonesia saat ini tidak seperti itu.
"Saran saya Presiden sendiri harus betul-betul tegas untuk menghentikan, tidak cukup untuk perkataan, tetapi juga tindakan, dimana misalnya Presiden bisa menyatakan agar penyelenggara pemilu menentukan tahapan tahapan Pemilu agar dilakukan proses yang bisa memastikan penyelenggaraan Pemilu 2024 itu berlangsung," pungkasnya.
Advertisement