Sinopsis dan Review The Batman: Manusia Kelelawar Versi Emo, Gelap dan Penuh Amarah

The Batman tak cuma menampilkan adegan aksi, tapi juga penelusuran sang Manusia Kelelawar yang bertindak bak detektif.

oleh Ratnaning Asih diperbarui 02 Mar 2022, 10:20 WIB
The Batman tak cuma menampilkan adegan aksi, tapi juga penelusuran sang Manusia Keleawar yang bertindak bak detektif. (Warner Bros via IMDb)

Liputan6.com, Jakarta - “Batman lagi, Batman lagi.” Mungkin ini pikiran orang-orang yang tak menggemari cerita superhero saat tahu The Batman dibuat. Maklum, karakter ikonis besutan Bob Kane ini sudah berkali-kali diangkat ke layar lebar.

Mulai dari Adam West yang mengenakan jubah sang superhero pada tahun 1960-an, Tim Burton menggarap Batman (1989), hingga film versi tahun 90-an sampai 2017 yang menampilkan parade aktor kondang. Mulai dari Michael Keaton, Val Kilmer, George Clooney, Christian Bale, hingga Ben Affleck.

Lantas hal baru apa yang ditawarkan The Batman—di luar Robert Pattinson? Simak sinopsis filmnya berikut ini.

Kota Gotham berada di titik nadir. Kepercayaan publik terhadap para pemimpinnya merosot. Kriminalitas merajalela di jalanan. Di masa-masa kelam ini, dari kegelapan malam muncul satu sosok misterius yang membawa teror kepada penjahat lewat lampu sorotnya yang mengarah ke langit.

I am the vengeance (Akulah sang pembalasan dendam),” begitulah cara sosok ini memperkenalkan dirinya.

Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Cinderamata The Riddler

The Batman. (Jonathan Olley/Warner Bros. Pictures via AP)

Ya, satu kalimat ini merangkum sosok yang kita kenal sebagai Batman (Robert Pattinson). Mengamuk dan menghajar penjahat dengan brutal dan tanpa ampun, sosok ini menyimpan rasa dendam dan amarah atas kehidupan masa lalunya.

Emosi yang ternyata membuncah kembali lewat kehadiran satu musuh baru: The Riddler (Paul Dano).

Berbeda dari penjahat biasa, The Riddler mengincar tokoh-tokoh penting di Gotham. Tak cuma dibunuh secara sadis, setelah mati pun para korban dipermalukan. Dosa-dosa mereka diekspos, ditelanjangi di muka publik.

Di setiap TKP, The Riddler meninggalkan satu “cinderamata”: sebuah kartu ucapan berisi teka-teki yang dialamatkan untuk Batman. Tak cuma itu, ia berjanji akan mengambil nyawa petinggi Gotham lainnya.


Catwoman nan Misterius

The Batman. (Jonathan Olley/Warner Bros. Pictures via AP)

Penelusuran Batman bersama Detektif Polisi James Gordon (Jeffrey Wright), atas kematian sang Wali Kota menuntunnya ke kelab malam milik Oz alias Penguin (Colin Farrell). Meski Penguin ngeles dan mengaku tak tahu apa-apa, seorang gadis pelayan di kelab tersebut berlaku mencurigakan.

Batman menguntit sang pelayan wanita, Selina Kyle alias Catwoman (Zoe Kravitz), yang kala tengah malam menyelinap masuk ke TKP pembunuhan sang Wali Kota Gotham.

Meski beda agenda, Batman dan Catwoman akhirnya bekerja bersama untuk menyingkap teka-teki berdarah The Riddler, sekaligus kebusukan yang melingkupi Gotham.


Luka Hati Batman

Adegan dalam trailer The Batman. (Warner Bros / DC)

Kembali ke pembukaan tulisan ini, ada pertanyaan besar soal The Batman. Apakah judul ini masih perlu ditonton di antara sekian banyak film yang mengangkat sang Manusia Kelelawar. Jawabannya, “YA.” Dengan huruf kapital.

The Batman menawarkan perspektif baru dalam melihat karakter ikonis ini. Tak perlu ada tetek bengek pengulangan soal origin story Batman/Bruce Wayne, filmnya langsung menampilkan seperti apa efek luka hati yang selama ini disimpan si miliarder yatim-piatu.

Termasuk saat ia berkeliaran di Gotham sebagai alter-egonya. Yang muncul di sini adalah Batman yang penuh amarah, berupaya mencari pembalasan atas traumanya yang belum tuntas sejak kecil.


Karakter Ikonis yang Penuh Magnet

The Batman. (Warner Bros Pictures)

Tak bisa dipungkiri, ketika awal diumumkan akan memerankan Batman, Robert Pattinson, dihujani tanda tanya. Tak sedikit yang merasa efek karakter vampir romantis terlalu melekat kepadanya.

Namun ia cukup berhasil menghidupkan karakter ini. Tertutup dan pemurung bak pemuda emo yang poninya menutupi wajah sebagai Bruce Wayne, dan berapi-api dalam jubah Batman.

Tak cuma Robert Pattinson, Zoe Kravitz juga tampil bersinar sebagai Selina Kyle yang penuh daya magnet. Begitupun dengan Andy Serkis pemeran Alfred, sang butler setia yang membawa sisi manusiawi dalam dinamika sang karakter utama. Terasa betul tensi antara dua tokoh ikonis ini saat Bruce Wayne membentak Alfred, "Kamu ini bukan ayahku!"


Beraksi Bak Detektif

The Batman. (Jonathan Olley/Warner Bros. Pictures via AP)

The Batman memang menampilkan adegan aksi yang cukup beragam. Mulai dari pertarungan jarak dekat, kejar-kejaran dengan Batmobile, pun manuver dengan beragam peralatan Batman. Namun porsinya tak sebanyak “permainan otak” Batman.

Superhero tanpa kekuatan super ini lebih sering diperlihatkan beraksi bak detektif polisi di film kriminal. Memecahkan petunjuk dan teka-teki, mencari barang bukti, sampai adegan menyusupkan mata-mata untuk mengumpulkan informasi.

Menarik, memang. Tapi mengingat durasinya yang nyaris tiga jam, di beberapa bagian filmnya terasa kendor dan berlama-lama berkutat di satu titik.


Metamorfosis Batman

Di luar ini, sutradara Matt Reeves—yang juga ikut menulis naskah—menyisipkan satu topik yang terasa sangat familier dengan kondisi di dunia nyata.

Bahwa kelakuan para pejabat Gotham yang korup dan bobrok, bukan hal yang asing di kehidupan yang sebenarnya. Bahwa orang-orang yang diberi amanah untuk melindungi dan memberantas kejahatan, justru menjadi sosok terdekat yang bergandengan tangan dengan penjahat kakap.

Di akhir film, metamorfosis karakter Batman pun terasa lengkap. Kalau sudah begini, tak ada jalan lain. Kami tunggu jilid selanjutnya dari Batman versi Pattinson.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya