Liputan6.com, Makassar - Majelis sidang pelanggaran kode etik profesi Polri yang digelar Polda Sulsel akhirnya memutuskan untuk memberikan sanksi demosi kepada Iptu Yusuf Purwantoro, eks Bendahara Brimob Polda Sulsel yang duduk sebagai pelanggar kode etik Polri. Yusuf didemosi alias direkomendasikan dipindahtugaskan ke jabatan yang rendah dan fungsi yang rendah selama 2 tahun.
Ia dinyatakan terbukti bersalah dan meyakinkan melanggar Pasal 12 ayat 1 huruf a Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 7 ayat 1 huruf b serta Pasal 11 huruf c Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri.
Advertisement
"Serta menjatuhkan sanksi yang sifatnya bukan administratif berupa menyatakan prilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela dan kedua kewajiban pelanggar untuk meminta maaf di muka persidangan Komisi Etik Polri dan secara tertulis pada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan," ucap Kombes Pol Agoeng Adi Koerniawan, Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan (Kabid Propam) Polda Sulsel yang sekaligus bertindak sebagai Ketua Majelis Etik dalam putusannya yang dibacakan, Selasa (1/3/2022).
Ia mengatakan, pemberian sanksi demosi kepada Yusuf selaku pelanggar tersebut, tidak serta merta diputuskan. Namun ada beberapa pertimbangan diantaranya ada terjadi kesepahaman. Di mana pelanggar bersedia menyerahkan rumahnya kepada korban selaku pihak yang dirugikan dengan batas waktu 2 pekan jika tidak bisa mengembalikan uang korban senilai Rp1 miliar.
Kemudian, lanjut Agoeng, juga ada surat dari Kepala Satuannya dalam hal ini Komandan Satuan Brimob Polda Sulsel yang menyatakan bahwa pelanggar masih layak jadi anggota Polri serta pelanggar juga telah menjalani masa hukuman pidana perkara penipuan yang dilakoninya.
"Sehingga atas pertimbangan tersebut, Majelis Sidang Etik bermusyawarah dan memutuskan tidak memberikan sanksi pemecatan tidak dengan hormat (ptdh). Melainkan hanya sanksi demosi," terang Agoeng.
Meski demikian, ia berharap pelanggar tidak menganggap kewajibannya selesai hanya dengan sebatas kesepakatan di atas surat saja. Namun pelanggar harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang tertuang dalam kesepakatan bersama secara tertulis dan bermaterai serta dilakukan di muka persidangan tadi.
"Yang dibutuhkan agar pelanggar ini melaksanakan kewajibannya. Jangan hanya di atas kertas saja dan itu tadi sudah dijawab tegas oleh pelanggar bahwa dia siap melaksanakan kewajibannya sesuai kesepakatan yang dibangun," jelas Agoeng.
Jika nantinya pelanggar tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang ada dalam kesepakatan yang dimaksud, lanjut Agoeng, tentunya akan ada keputusan berikutnya.
"Tapi saya kira dia akan penuhi itu. Kalau tidak kita lihat saja nanti keputusan selanjutnya. Lagi pula kan ada juga itu putusan perdata perihal ganti kerugian yang dimaksud. Di situ juga bisa mengikat yang bersangkutan," ujar Agoeng.
Menanggapi putusan demosi yang dijatuhkan Majelis Sidang Etik kepadanya, Yusuf tak membantahnya. Ia malah menerima putusan yang dimaksud.
"Siap kami terima," singkat Yusuf dengan suara tegas.
Demikian juga dengan pihak korban yang dirugikan alias pengadu, A. Wijaya. Melalui Kuasa Hukumnya, A. Sofyan Rauf Radja, Wijaya juga menerima putusan yang telah ditetapkan oleh Majelis Sidang Etik tersebut.
"Tentunya kita terima putusan tersebut. Namun kita berharap pelanggar ini betul-betul punya itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya kepada kliennya saya sebagaimana ia telah nyatakan dalam surat kesepakatan di muka persidangan tadi," ucap Sofyan.
Ia mengungkapkan, dalam surat kesepakatan yang dituangkan di atas surat bermaterai dan dibacakan di muka persidangan tadi, di mana Yusuf selaku pelanggar berjanji menyelesaikan tunggakannya kepada korban dengan tempo 2 pekan.
Jika dalam masa tempo yang dimaksud, pelanggar kemudian tidak menepati hal itu, lanjut Sofyan, pelanggar berjanji untuk menyerahkan rumahnya yang berlokasi di Jalan Talasapang, Kecamatan Rappocini Makassar yang taksasinya bernilai Rp800 juta.
"Sementara untuk penyelesaian kekurangan tunggakannya diberi tempo 3 bulan. Dan jika yang bersangkutan kembali tidak memenuhi itu, maka kami kembali mengajukan permohonan agar pelanggar diberikan sanksi pemecatan tidak dengan hormat (ptdh)," jelas Sofyan.
Pelanggar Sebelumnya Dituntut Pemecatan Tidak Dengan Hormat
Tim Penuntut Umum yang diketuai oleh Kompol Dominin sebelumnya memberikan tuntutan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) kepada Iptu Yusuf Purwantoro yang merupakan mantan Kaurkeu Subbagrenmin Satbrimob Polda Sulsel atau kerap disebut sebagai Bendahara Brimob Polda Sulsel itu.
Adapun pertimbangan tuntutannya, Tim Penuntut Umum mengungkapkan dua hal. Pertama mengenai fakta-fakta yang meringankan. Di mana terduga pelanggar selama proses pemeriksaan persidangan kode etik bertindak kooperatif dan catatan terduga pelanggar selama bertugas memiliki kinerja yang baik dan belum pernah menjalani proses hukum baik itu pelanggaran disiplin maupun kode etik Polri.
Sementara fakta-fakta yang memberatkan, di mana terduga pelanggar sudah mengetahui perbuatan yang telah dilakukannya sudah merupakan norma kewajiban yang ada pada peraturan kode etik profesi Polri dan seharusnya tidak dilakukan oleh seorang anggota Polri.
Perbuatan terduga pelanggar, menurut Tim Penuntut Umum, telah dapat dibuktikan dan memenuhi syarat hukum untuk dituntut dan dimintai pertanggungjawaban hukum.
"Oleh karena itu mohon kiranya Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Majelis Sidang Etik menjatuhkan putusan bahwa terduga pelanggar telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 12 ayat 1 huruf a Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 7 ayat 1 huruf b serta Pasal 11 huruf c Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri," ucap Kompol Dominin dalam tuntutan yang dibacakan dalam sidang etik sebelumnya.
"Menjatuhkan sanksi, pertama sanksi yang sifatnya bukan administratif berupa prilaku terduga pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela dan kewajiban terduga pelanggar untuk meminta maaf di muka persidangan Komisi Etik Polri atau secara tertulis pada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan serta sanksi yang sifatnya administratif berupa rekomendasi pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota Polri," Kompol Dominin menambahkan.
Ia berharap tuntutan yang pihaknya telah sampaikan dan bacakan di hadapan persidangan nantinya dapat menjadi pertimbangan Majelis Sidang Kode Etik dalam mengambil keputusan dan menjadikan tuntutan yang ada masuk dalam bagian yang tak terpisahkan dari putusan serta menyatakan terduga pelanggar terbukti secara sah dan meyakinkan telah melanggar ketentuan, kewajiban dan larangan yang dimaksud serta menjatuhkan sanksi sebagaimana dalam tuntutan yang telah dibacakan.
"Namun apabila nantinya Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Majelis Kode Etik berpendapat lain, maka kami Penuntut Umum memohon pemberian putusan dan sanksi yang seadil-adilnya," Dominin menandaskan.
Sekedar diketahui, Iptu Yusuf Purwantoro menjalani sidang dugaan pelanggaran kode etik Polri sebagaimana tercatat dalam Laporan Polisi Nomor: LP-A/77/VIII/2020/Yanduan Bidpropam, tanggal 24 Agustus 2020.
Advertisement
Pelanggar Kerap Sebut Nama Mantan Dansat Brimob Polda Sulsel
Terduga pelanggar, Iptu Yusuf dalam persidangan Komisi Etik Profesi Polri (KEPP) yang dipimpin langsung oleh Kombes Pol Agoeng Adi Koerniawan sebelumnya mengakui jika uang sejumlah Rp1 miliar yang dipinjam dari korban A. Wijaya itu kemudian diserahkan ke Kombes Pol Totok Lisdiarto yang sebelumnya merupakan mantan atasannya selaku Komandan Satuan (Dansat) Brimob Polda Sulsel .
"Tolong diperjelas, uang yang nilainya Rp1 miliar itu kamu kemanakan. Apakah betul kamu serahkan ke Pak Totok?," tanya Wakil Ketua sidang komisi etik dalam persidangan.
"Iya saya serahkan langsung ke Pak Totok," ucap Yusuf dengan wajah tertunduk saat itu.
Ia bersikukuh tetap akan dibantu oleh Kombes Pol Totok untuk menyelesaikan kewajibannya kepada korban, A. Wijaya tersebut. Hanya saja, saat majelis sidang komisi etik mempertanyakan kepastian waktu sampai kapan menanti realisasi bantuan mantan atasannya itu kepada dia agar bisa segera membayarkan kewajibannya kepada korban, Yusuf mengaku tidak tahu.
"Pak Totok sementara usahakan mengumpulkan. Saya tidak tahu sampai kapan," jawab Yusuf menanggapi pertanyaan Wakil Ketua sidang komisi etik saat itu.
Ia mengaku tak punya sumber lain guna menutupi kewajibannya mengembalikan uang yang ia pinjam dari korban (pengadu) senilai Rp1 miliar tersebut. Gajinya sebagai anggota Polri sebesar Rp6 juta lebih, semuanya tak diterima lagi lantaran Yusuf memiliki kewajiban lain membayar hutang di koperasi yang nilainya Rp200 juta.
"Siap, tak ada lagi," jelas Yusuf menjawab pertanyaan majelis sidang komisi etik mengenai apakah ada sumber lain untuk menyelesaikan kewajibannya itu.
Simak juga video pilihan berikut ini: