Liputan6.com, Jakarta - Pertanyaan "Kapan pandemi COVID-19 berakhir?" atau "Kapan kehidupan bisa berjalan normal seperti sedia kala?" tampaknya jadi pertanyaan semua orang. Terlebih virus SARS-CoV-2 telah genap 2 tahun bercokol di Tanah Air sejak 2 Maret 2020.
Melihat perkembangan COVID-19 pada tataran global, setiap negara, termasuk Indonesia berupaya lepas dari cengkeraman pandemi. Terus bergerak dan berharap segera tiba pada fase endemi. Fase ketika COVID-19 menjadi penyakit yang konstan atau biasa dalam suatu populasi atau area geografis tertentu. Tak ubahnya malaria atau demam berdara dengue (DBD).
Advertisement
Upaya membangun kekebalan kelompok dengan temuan vaksin dan pelaksanaan vaksinasi membawa harapan pandemi bisa segera berlalu. Beberapa negara yang telah memenuhi aturan cakupan vaksinasi dosis lengkap yang distandarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mulai melonggarkan aturan pembatasan mereka di tengah peningkatan kasus varian Omicron di Eropa dan Amerika. Beberapa di antaranya adalah Inggris, Prancis, Denmark dan Swedia.
Pada awal Februari 2022, Prancis menghapus batas pengunjung di tempat usaha. Di Inggris, siapapun kini tidak lagi terikat persyaratan hukum izin COVID-19 untuk masuk ke area publik seperti klub malam dan tempat-tempat besar lainnya. Saran bekerja dari rumah juga dihapus pemerintah, termasuk panduan masker di ruang kelas.
Sejak awal Desember 2021, Pemerintah Inggris telah melakukan langkah-langkah yang disebut 'Plan B', untuk menghentikan penyebaran cepat varian Omicron dan sebagai upaya mengulur waktu agar penduduk bisa penerima suntikan vaksin booster.
Denmark pun kini telah kembali hidup normal dengan virus Corona penyebab COVID-19. Bulan lalu, penasihat pemerintah Denmark, Michael Bang Petersen, berkata bisa mencabut prokes karena vaksinasi sudah tinggi, yakni 81 persen.
"Warga Denmark memiliki tingkat vaksinasi yang tinggi, dan data kami menunjukkan bahwa mereka punya kepercayaan tinggi pada vaksin. 81 persen dari seluruh populasi telah divaksinasi dan 61% populasi telah mendapatkan vaksin booster. Vaksin tersedia bagi usia 5 tahun ke atas."
Ekonom JP Morgan, David Mackie yang selama ini telah melakukan analisis statistik sejak awal pandemi menilai data yang disajikan oleh Denmark menunjukkan bahwa cakupan vaksinasi yang tinggi, termasuk dosis booster, dan penggunaan terapi anti-virus dapat menekan kasus fatalitas (CFR) COVID-19 di bawah CFR influensa. Diketahui, subvarian BA.2 dari Omicron menjadi yang paling dominan di negara tersebut. Subvarian itu disebut-sebut memiliki data tular sangat tinggi, namun tingkat keparahan rendah.
Mackie percaya, data yang dimiliki Denmark dapat menawarkan gambaran mendalam akan seperti apa endemi COVID-19 nantinya, seperti dilansir ABC. Meski demikian, pandangan Mackie mendapat beragam respon dari para pakar di Australia.
Di Indonesia, varian Omicron memang telat berkunjung dibandingkan di Eropa dan Amerika. Namun memasuki akhir Februari 2022, kasus COVID-19 akibat varian Omicron memperlihatkan tren penurunan. Penambahan terbanyak melebihi varian Delta pun sudah terjadi.
Hingga akhir Februari 2022, Kementerian Kesehatan RI mencatat ada 14 provinsi yang konsisten dalam penurunan kasus konfirmasi harian COVID-19. Ke-14 provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, NTB, Maluku, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Papua Barat.
Tujuh provinsi lain pun tercatat kasus hariannya sudah melandai. Ketujuh provinsi tersebut yakni Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Gorontalo, Bengkulu, dan Lampung. Faktor inilah yang juga membuat posisi perawatan pasien di rumah sakit melandai karena kontribusi pasien di daerah dengan populasi besar juga ikut turun. Hingga Selasa (1/3), pasien dirawat di rumah sakit secara nasional turun menjadi 34 persen dari hari sebelumnya di posisi 35 persen (28/2).
“Per hari ini (1/3), konfirmasi kasus harian berada di posisi 24.728 kasus per hari. Sangat jauh jika dibandingkan posisi tertinggi yang sempat mencatat angka 64.718 kasus per hari. Tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit (bed occupancy ratio/BOR) juga masih sangat terkendali dengan kecenderungan menurun,” kata Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi.
Data Kemenkes juga menunjukkan bahwa di beberapa daerah dalam minggu terakhir Februari kemarin mengalami penurunan positivity rate, di antaranya: DKI Jakarta, Bali, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Maluku, Papua, NTB, Papua Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Tengah.
“Meskipun dalam pantauan kami masih ada beberapa provinsi di Jawa dan luar Jawa yang meningkat, tapi secara agregat kita bisa melihat penanganan pandemi secara nasional membaik karena provinsi dengan kota-kota besar padat penduduk sudah melewati puncaknya dalam waktu yang cukup konsisten,” ujar Nadia.
Perbaikan indikator penanganan pandemi juga tampak dari angka kesembuhan pasien di rumah sakit yang terus meningkat secara nasional. Hingga Senin (28/2), angka kesembuhan pasien ada di posisi 43.992. Angka ini lebih baik dari hari sebelumnya Minggu (27/2) yang ada di posisi 39.384.
“Beberapa hari yang lalu, kita juga mencatat rekor angka kesembuhan harian tertinggi sejak awal pandemi ini diumumkan sebesar 61.361 (25/2), melewati rekor sebelumnya pada 6 Agustus 2021 yang sempat menyentuh angka 48.832,” ujar Nadia.
Melihat kondisi penambahan kasus COVID-19 yang menunjukkan penurunan setiap harinya dan beberapa negara telah mulai bertransisi, mungkinkah dalam waktu dekat status pandemi di Indonesia akan bisa beralih menjadi endemi dalam waktu dekat?
Indonesia Tak Perlu Tergesa Ubah Status Pandemi
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Bisar Pandjaitan pun menyadari, sejumlah negara sudah mulai bertransisi dari pandemi menuju endemi COVID-19. Meski demikian, menurutnya Indonesia tak perlu latah ikut melakukan hal tersebut.
"Meskipun, beberapa negara lain sudah mulai memberlakukan kebijakan pelonggaran untuk transisi ke endemi seperti Inggris, Denmark hingga Singapura. Namun, kita tidaklah perlu latah ikut-ikutan seperti negara tersebut," jelas Luhut dalam konferensi pers di Youtube Sekretariat Presiden, Senin (21/2/2022).
Menurut dia, Indonesia akan melakukan transisi menuju endemi secara bertahap, bertingkat, dan berlanjut. Selain itu, proses transisi yang dilakukan Indonesia akan berbasiskan data indikator kesehatan, ekonomi dan sosial budaya, serta menerapkan prinsip kehati-hatian.
Luhut mengatakan pemerintah menggunakan pra-kondisi endemi sebagai pijakan dengan menggunakan indikator.
Misalnya, tingkat kekebalan masyarakat yang tinggi, tingkat kasus COVID-19 yang rendah berdasarkan indikator Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga kapasitas respons fasilitas kesehatan yang memadai maupun menggunakan surveilans aktif.
"Selain itu pra-kondisi ini juga harus terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang dan sudah stabil ataupun konsisten," jelas Luhut.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi pun disebut tak mau tergesa-gesa mengubah status pandemi COVID-19 menjadi endemi, meski beberapa indikator pengendalian virus corona menunjukkan perbaikan.
Adapun keputusan yang diambil nantinya akan berdasarkan pada data science dan kalkulasi yang matang.
"Mengenai perubahan status pandemi menjadi endemi, Bapak Presiden menekankan kita tidak perlu tergesa-gesa dan memperhatikan aspek kehati-hatian," kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Abraham Wirotomo dikutip dari siaran persnya, Rabu (2/3/2022).
"Presiden tidak mau kita sampai kembali ke situasi pada awal pandemi," sambungnya.
Advertisement
Mematangkan Road Map Menuju Endemi
Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, untuk masuk ke fase endemi masih panjang, bahkan harus terlebih dahulu masuk fase pra endemi. Indonesia dapat dinyatakan masuk pada fase pra endemi saat kasus COVID-19 dapat terkendali secara konsisten.
"Kita jangan dulu berbicara masuk fase endemi, (sekarang yang penting) bagaimana pandemi terkendali, baru masuk ke pra endemi, setelah itu baru dinyatakan endemi," kata Nadia di Gedung Kementerian Kesehatan Jakarta, Selasa (1/3/2022).
“Kami juga sedang menyusun indikator pandemi terkendali, pra endemi, dan endemi. Misalnya, laju penularan di bawah 1, kematian kurang dari 3 persen (dari total kasus), serta kabupaten/kota semua PPKM Level 1," dia menambahkan.
Pra endemi COVID-19 adalah kondisi saat angka penularan viurs SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dapat terus ditekan. Komponen dasar yang digunakan bersumber dari panduan WHO terhadap penilaian level penularan, yang mana transmisi Level 1 diukur minimal 20 per 100.000 penduduk, jumlah hospitalisasi 5 per 100.000 penduduk, dan jumlah kematian 1 per 100.000 penduduk.
Kondisi laju penularan sangat rendah pernah dirasakan Indonesia dalam kurun waktu September hingga Desember 2021. Untuk menuju endemi butuh waktu lebih panjang dalam kategori, apakah Indonesia sudah menuju ke arah endemi.
"Saat ini, kita sedang bersiap-siap mengendalikan pandemi dulu, yang penting bagaimana laju penularan terus menerus ditekan dalam kurun tertentu, sebab ada ancaman mutasi virus," kata wanita yang juga menjabat Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes.
"Kunci utamanya, vaksinasi untuk proteksi menekan laju penularan kurang dari satu kasus. Cakupan vaksinasi harus luas, selain luas juga punya efikasi tinggi, makanya vaksinasi booster dipercepat dan perlindungan kelompok rentan dilakukan demi mencegah orang sakit,” Nadia menambahkan.
Memulai masa transisi atau masuk pra endemi, kata Nadia, Pemerintah mulai melakukan pelonggaran mobilitas penduduk secara bertahap.
"Pemerintah tidak langsung mencabut, tidak menggunakan masker lagi. Perlu dilihat, dari sisi kesehatan masyarakat, surveilans, fasilitas kesehatannya, ini pertimbangan perubahan dari pandemi terkendali dan pra endemi, disesuaikan kondisi yang ada," ujarnya.
Dalam membuat kebijakan di masa transisi, Pemerintah juga tidak terburu-buru untuk menyatakan endemi walaupun protokol endemi sudah disiapkan. Upaya yang dilakukan sekarang adalah mengamati tren kesehatan dunia, bukan hanya aspek kesehatan, melainkan juga menyusun dan mematangkan peta jalan (road map) menuju endemi.
Demi menuju transisi masyarakat aman COVID-19, menurut Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin, seluruh elemen masyarakat mau tak mau harus mampu beradaptasi dengan segala perubahan.
“Sesuai prediksi para ahli, pandemi akan berlangsung lama, tidak ada yang tahu berapa lama, sehingga kita harus dapat beradaptasi agar tetap bisa hidup secara produktif, dan menjaga sistem kesehatan kita agar selalu kuat dan menjaga roda perekonomian agar terus berjalan,” kata Budi Gunadi saat acara Economy and Environment: Towards a Revolutionary Future, Kamis (24/2/2022).
“Masyarakat harus terus diingatkan untuk menerapkan protokol kesehatan dan memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat yang terus disesuaikan dengan perubahan situasi pandemi di masing-masing wilayah," Menkes menambahkan.
Perjalanan dua tahun pandemi COVID-19, lanjut Budi Gunadi, Indonesia didera dua puncak gelombang kasus COVID-19. Puncak tertinggi itu terjadi pada bulan Juni dan Juli 2021.
Kementerian Kesehatan konsisten menerapkan empat strategi untuk menangani pandemi COVID-19, termasuk varian Omicron.
“Strategi pertama adalah strategi protokol kesehatan. Strategi kedua, strategi surveilans atau 3T. Strategi ketiga, vaksinasi dan strategi keempat adalah strategi terapeutik atau perawatan,” pungkas Menkes.
Upaya-upaya percepatan vaksinasi COVID-19 yang telah dilakukan di antaranya, meningkatkan komunikasi informasi dan edukasi kepada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan yang bekerja sama dengan kementerian/lembaga terkait, TNI Polri, organisasi masyarakat, organisasi profesi dan unsur-unsur lainnya, baik pelaksanaan program vaksinasi, identifikasi sasaran yang belum mendapatkan vaksin, serta edukasi kepada masyarakat.
Sulit Memprediksi Kapan Fase Endemi Dimulai
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI sekaligus eks Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama pun mengungkapkan, sebenarnya cukup sulit untuk mengetahui kapan suatu negara bisa mengubah status pandeminya menjadi endemi.
"Kalau tentang berapa lama maka tidak ada yang dapat memastikan kapan dunia akan berhenti pandemi, dan juga sulit menentukan kapan suatu negara manapun akan jadi endemi," ujar Tjandra pada Health Liputan6.com, Rabu (2/3/2022).
Menurut Tjandra, akan lebih baik apabila Indonesia tetap mengikuti pergerakan data epidemiologi dan melakukan upaya maksimal untuk mendorong rencana tersebut.
Beberapa negara memang dapat saja menyatakan bahwa mereka telah masuk pada masa endemi. Namun Tjandra menjelaskan, hal tersebut pun bukan berarti pandemi telah sepenuhnya selesai.
"Masing-masing negara dapat saja membuat pernyataan bahwa mereka sudah dapat mengendalikan wabah COVID-19, atau sudah masuk dalam fase endemi," kata Tjandra.
"Tetapi, pernyataan satu dua atau bahkan beberapa negara bahwa negara mereka sudah endemi sama sekali tidak berarti pandemi sudah selesai," tambahnya.
Tjandra juga menuturkan kriteria apa saja yang dapat menjadi penentu dalam perubahan pandemi COVID-19 menjadi endemi. Berikut di antaranya angka kepositifan (positivity rate), angka reproduksi efektif, jumlah kasus rendah, jumlah kematian rendah, fasilitas pelayanan kesehatan sepenuhnya siap.
"Untuk situasi COVID-19 sudah terkendali maka salah satunya adalah angka kepositifan di bawah lima persen," ujar Tjandra.
Sehingga meski pada Sabtu, 26 Februari 2022 lalu angka positivity rate telah menurun menjadi 15,91 persen, angka tersebut pun masih jauh di atas batas 5 persen.
"Tahun yang lalu angka kepositifan kita sudah sempat cukup lama di bawah 5 persen dan angka reproduksi juga pernah di bawah 1, tapi dengan serangan Omicron maka angka kepositifan dan angka reproduksi naik lagi seperti sekarang ini," kata Tjandra.
Indikator lainnya yang menjadi penentu adalah angka reproduksi efektif (effective reproduction number) sendiri yang harus di bawah 1.
Beberapa pihak menyebut bahwa angka reproduksi Indonesia masih di atas 1, bahkan ada yang melaporkan sebanyak 1.161. Begitupun dengan angka kematian dan jumlah pasien.
"Angka jumlah pasien dan kematian juga harus ditekan rendah, serta pelayanan kesehatan akan selalu siaga menghadapi kemungkinan kenaikan kasus," ujar Tjandra.
"Tentu kita juga amat perlu mewaspadai kemungkinan varian baru COVID-19 di dunia, sesuatu yang tidak terlalu mudah memprediksinya," tambahnya.
Advertisement
Fase Endemi, Penyakit Tidak Benar-Benar Hilang
Epidemiolog yang juga praktisi global health security Dicky Budiman mengatakan bahwa apa yang masyarakat sebut dengan pandemi tertulis dalam International Health Regulation sebagai Public Health Emergency International Concern (PHEIC) atau kedaruratan kesehatan masyarakat global yang menjadi perhatian dunia.
"PHEIC itu kita kenal populernya pandemi, suatu kondisi ketika ada penyakit yang menyebar secara global," kata Dicky.
Hanya World Health Organization (WHO) yang bisa menetapkan dan mencabut status PHEIC. Hingga sekarang WHO belum mencabut status tersebut. Itu artinya negara yang terikat dan terlibat pada International Health Regulation harus mengikuti bahwa saat ini dalam kondisi PHEIC COVID-19.
"Jadi, kalau Indonesia atau negara lain mau mengubah status pandemi jadi endemi, epidemi atau bahkan enggak ada pandemi sama sekali, ya berlakukanya di situ saja (di negara tersebut)," kata Dicky.
Terkait beberapa negara yang sudah mulai mengarahkan pandemi menuju endemi, Dicky menilai itu suatu arah yang pesimistis.
"Kalau negara-negara mengarahkan ke endemi, menurut saya itu sudah patah arang duluan," kata Dicky.
Endemi berarti suatu penyakit tidak akan hilang, tidak bisa benar-benar dikendalikan atau tidak bisa kasusnya nol.
"Menurut saya jangan begitu, ya. Itu pesimis. Endemi itu berbahaya. Seperti malaria, penyakitnya terus ada," jelas Dicky lewat pesan suara ke Health-Liputa6.com pada Rabu (2/3/2022).
Dicky menjelaskan ketika nanti WHO mencabut status pandemi COVID-19, maka akan ada tiga kemungkinan status dalam sebuah negara yakni ada yang mengalami endemi, epidemi dan sporadis atau terkendali. Dicky berharap negara-negara mengarah pada kasus COVID-19 terkendali yang artinya tidak ada kasus dalam satu atau dua bulan dan seterusnya.
Sementara itu bila epidemi adalah suatu kondisi ketika muncul ledakan kasus beberapa kali dalam setahun seperti muncul gelombang-gelombang kasus. Di antara gelombang tersebut ada kasus tapi terkendali.
Lalu, terakhir adalah endemi, suatu kondisi di mana kasus selalu ada kasus serta ada beberapa kesepakan standar mengenai definisi endemi. Seperti berapa kasus kematian, angka hunian rumah sakit, positivity rate yang masuk dalam kategori status endemi.
"Itu endemi, ada standar yang ditetapkan. Nanti pun gilirannya WHO akan memberikan rujukan yang disebut endemi berapa tapi sebuah negara juga bisa membuat rujukan," kata dia.
Berbicara mengenai status pandemi atau endemi Dicky mengatakan untuk mengikuti WHO. Pada gilirannya nanti akan tiba pencabutan status PHEIC.
Diprediksi potensi status pandemi bakal dicabut WHO pada akhir 2022 atau paling lambat di awal 2023. "Itu prediksi optimis saat ini," katanya.
Dia menduga tampaknya prediksi itu sesuai rencana karena salah satu dasar perubahan status adalah 70 persen populasi dunia sudah divaksin dua dosis hingga akhir tahun nanti. Indonesia menargetkan 70 persen populasi dapat vaksinasi lengkap sebelum bulan Ramadan tahun ini.
Menanti perubahan status, Dicky menekankan agar Indonesia mempersiapkan pondasinya. "Yang paling penting pondasinya, mulai dari cakupan vaksinasi hingga temuan kasus, itu yang penting."
Baca Juga
Pergerakan Independen Alex Kuple dalam Bermusik, Ogah Bergantung pada Major Label Berkat Kedekatan dengan Musisi Indie
Mendagri Tito Karnavian Beberkan Alasan Yogyakarta Tetap Naik Pertumbuhan Ekonomi saat Pandemi Covid-19
Pandemi Adalah Wabah Global, Pahami Ciri-Ciri, Cara Menghadapi, serta Bedanya dengan Endemi dan Epidemi