Liputan6.com, Jakarta Harga minyak dunia terus melejit di tengah sentimen konflik Rusia-Ukraina. Pada akhir perdagangan Rabu (2/3/2022) kemarin, minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei mencapai USD 113,94 per barel.
Namun, Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menilai, Indonesia hanya berpasrah diri terhadap kenaikan harga ini. Sebab, itu di luar kuasa negara untuk mengendalikannya.
Advertisement
"Betul, berat, karena ini menyangkut stabilitas ekonomi di luar. Kita palingan bisa ya mengajak masyarakat untuk lebih berhemat di tengah situasi yang tidak menentu ini," ujar Mamit kepada Liputan6.com, Kamis (3/3/2022).
Menurut dia, kenaikan harga minyak ini akan terus berlangsung mengikuti kondisi perkembangan konflik Rusia-Ukraina. Hal ini mengingat posisi Rusia sebagai anggota OPEC+, dimana produksi minyak dan gas mereka cukup besar dan berpengaruh terhadap suplai.
"Meskipun konflik berakhir dalam waktu dekat dan bisa berdamai, harga minyak menurut saya tidak serta merta akan langsung anjlok," kata Mamit.
Tanpa adanya konflik saja, ia menambahkan, di tengah ekonomi global yang sedang tumbuh dan OPEC+ masih membatasi produksi, harga minyak tahun ini diprediksi bakal menyentuh USD 120 per barel.
"Belum lagi, pasca konflik Rusia-Ukraina akan membutuhkan waktu untuk memperbaiki infrastruktur energi di sana. Sehingga ada jeda waktu bagi Rusia untuk memproduksikan migas mereka," tuturnya.
Pengaruh Sanksi Rusia
Plus sanksi yang diberikan Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) terhadap Rusia, Mamit menilai itu bisa mengurangi suplai ditengah naiknya permintaan.
"Kecuali nanti OPEC akan membanjiri market dengan minyak mereka untuk menekan harga. Tapi hal ini seperti cukup sulit diterapkan," sebut dia.
"Kartel OPEC akan menikmati keuntungan terlebih dahulu dari naiknya harga minyak dunia saat ini. Jadi, tahun ini adalah tahun yang sulit bagi sektor energi karena ketidakpastiaan soal pasokan," tandasnya.
Advertisement