Liputan6.com, Jakarta - Indonesia sebagai negara yang kaya komoditas dinilai memiliki posisi strategis atas konflik Rusia-Ukraina. Lantaran, Rusia menjadi salah satu negara yang memiliki kontribusi cukup besar untuk komoditas global.
Dengan kondisi negara yang sedang tidak kondusif, pasokan komoditas dari Rusia terhambat. Akibatnya terjadi kekurangan supply global yang berpotensi mengerek harga komoditas.
"Kenaikan harga komoditas menekan wall street dan Bursa Eropa. Tapi IHSG cukup stabil dan bertahan. Ketika ketegangan antara Ukraina dan Rusia mencapai titik didih, beberapa komoditas utama dapat terpengaruh,” kata Pengamat pasar modal yang juga founder Traderindo.com Wahyu Laksono kepada Liputan6.com, Kamis (3/3/2022).
Baca Juga
Advertisement
Wahyu menuturkan, Rusia menyumbang sekitar 6 persen dari pasokan aluminium global. Sehingga sanksi terhadap Moskow dapat supply shock di pasar yang sudah ketat.
Di sisi lain, pasokan minyak dan gas alam juga kemungkinan akan berkurang jika situasi di Ukraina memburuk. Rusia adalah pembangkit tenaga minyak dan gas dan mampu memompa sekitar 9 juta barel minyak mentah per hari.
Sebagai perbandingan, AS memompa sekitar 11,6 juta barel sementara produksi minyak global mencapai sekitar 96 juta barel per hari. Rusia juga merupakan produsen gas alam terkemuka dan mampu memompa sekitar 639 miliar meter kubik gas alam pada tahun 2021, atau hampir 17 persen dari produksi global sebesar 3,854 triliun meter kubik.
"Data USGS menunjukkan bahwa Rusia memproduksi 920.000 ton tembaga olahan pada tahun 2021, sekitar 3,5 persen dari total dunia, di mana Nornickel memproduksi 406.841 ton. UMMC dan Perusahaan Tembaga Rusia adalah dua produsen utama lainnya, dengan Asia dan Eropa menjadi pasar ekspor utama Rusia," beber Wahyu.
Tak hanya itu, Wahyu juga memaparkan, menurut data dari Survei Geologi AS (USGS), Rusia memproduksi 7.600 ton kobalt tahun lalu, lebih dari 4 persen dari total dunia. Namun, Rusia berada di urutan kedua setelah Republik Demokratik Kongo yang memproduksi 120.000 ton.
"Jadi komoditas terutama energi dan base metal bisa menguat dan dalam jengka menengah bisa supports emiten terkait energi dan metal," kata Wahyu.
Adapun emiten yang cenderung terdampak dari kenaikan harga komoditas saat ini adalah emiten energi. "Terutama yang berorientasi ekspor. Seperti MEDC, ELSA, ENRG dan AKRA," ujar dia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Harga Minyak Meroket Sentuh Level Tertinggi dalam Satu Dekade
Sebelumnya, harga minyak Amerika Serikat (AS) naik ke level tertinggi dalam lebih dari satu dekade dalam perdagangan Rabu, dengan patokan global Brent mencapai USD 113 per barel. Ini terjadi setelah OPEC dan sekutu penghasil minyaknya, termasuk Rusia, memutuskan untuk mempertahankan produksi tetap stabil.
Pasar minyak sudah ketat sebelum invasi Rusia ke Ukraina, dan dengan negara-negara yang sekarang menghindari minyak dari produsen utama Rusia, para pedagang khawatir bahwa kekurangan pasokan akan mengikuti.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate, patokan minyak AS, melonjak lebih dari 8 persen menjadi diperdagangkan pada USD 112,51 per barel, level tertinggi sejak Mei 2011. Patokan global minyak mentah Brent naik 8,3 persen menjadi USD 113,58 per barel, level tertinggi sejak Juni 2014.
Harga kemudian pindah dari tertinggi mereka. Sekitar pukul 11:30 pagi di Wall Street WTI berdiri di USD 106,73, dengan Brent diperdagangkan di USD 109,18.
Selama perdagangan Selasa, WTI naik 8,03 persen menjadi menetap di USD 103,41 per barel, sementara Brent naik 7,15 persen menjadi USD 104,97.
OPEC dan sekutunya mengatakan pada hari Rabu bahwa mereka akan meningkatkan produksi pada bulan April sebesar 400.000 barel per hari di atas tingkat Maret, meskipun reli minyak yang terik telah mendorong harga jauh di atas USD 100.
“Tidak ada jeda. Ini adalah momen dramatis bagi pasar dan dunia serta pasokan,” kata John Kilduff, partner di Again Capital. “Jelas dunia harus melawan Rusia dengan menutup ekspor minyaknya,” tambahnya, mencatat bahwa pasar tidak mampu kehilangan minyaknya.
Advertisement
Pertama Kali Sejak 2014
Baik WTI dan Brent melonjak di atas USD 100 Kamis lalu untuk pertama kalinya sejak 2014 setelah Rusia menginvasi Ukraina, memicu kekhawatiran pasokan.
"Harga minyak mentah tidak dapat berhenti naik lebih tinggi karena pasar minyak yang sangat ketat kemungkinan akan melihat risiko lebih lanjut terhadap pasokan saat Perang di Ukraina berlangsung," kata Ed Moya, analis pasar senior di Oanda. "Minyak mentah Brent bisa melonjak ke level $ 120 jika pasar minyak mulai berpikir kemungkinan sanksi akan ditempatkan pada energi Rusia."
Pada hari Selasa negara-negara anggota Badan Energi Internasional mengumumkan rencana untuk melepaskan 60 juta barel cadangan minyak dalam upaya untuk mengurangi kenaikan harga minyak. Sebagai bagian dari itu, AS akan melepaskan 30 juta barel.