Liputan6.com, New York - Harga minyak mentah Amerika Serikat (AS) melonjak ke level tertinggi sejak 2008 sebelum berbalik arah. Melambungnya harga minyak dipicu gangguan pasokan dari Rusia terkait kemungkinan kesepakatan nuklir Iran.
Melansir laman CNBC, Jumat (4/3/2022), harga minyak dunia berjangka West Texas Intermediate, patokan minyak AS, diperdagangkan setinggi USD 116,57 per barel. Level harga ini terakhir terlihat pada 22 September 2008.
Advertisement
Adapun patokan internasional harga minyak mentah Brent mencapai USD 119,84, level tertinggi sejak Mei 2012.
Namun harga minyak kemudian susut, dan diperdagangkan lebih rendah sepanjang sore waktu setempat.
WTI berakhir dengan turun 2,65 persen lebih rendah menjadi USD 107,67 per barel, sementara Brent turun 2,19 persen menjadi USD 110,46 per barel.
Invasi Rusia ke Ukraina telah mendorong harga minyak dunia melonjak. Kemungkinan kesepakatan dengan Iran telah menjadi salah satu faktor yang dikutip yang dapat membawa bantuan segera untuk pasar yang sangat ketat.
“Kecuali ada pencairan ketegangan yang gamblang dalam bentuk konsesi dari kedua belah pihak dan sanksi dicabut dan/atau Iran diizinkan kembali ke pasar sebelum sehingga dapat mulai menjual minyaknya dari penyimpanan sampai produksi ditingkatkan, premi risiko adalah tidak diharapkan untuk mengempis secara nyata,” kata pialang PVM dalam sebuah catatan kepada klien.
Meskipun turun, kedua kontrak minyak masih solid di zona hijau pada minggu ini. WTI naik sekitar 19 persen, sementara Brent telah naik 14 persen.
Kekhawatiran Pasar
Pasar minyak sudah mengetat bahkan sebelum invasi Rusia ke Ukraina. Ditambah negara-negara yang sedang menghindari pasokan minyak dari produsen utama Rusia, para pedagang khawatir akan terjadi kekurangan pasokan.
Pada hari Senin, Kanada mengatakan pihaknya melarang impor minyak Rusia. Sejauh ini merupakan satu-satunya negara yang menargetkan kompleks energi Rusia secara langsung.
Namun, ada efek riak, termasuk pembeli akan memutuskan untuk menghindari minyak Rusia untuk menghindari kemungkinan risiko pelanggaran sanksi.
"Kami berharap ekspor minyak Rusia akan turun 1 juta barel per hari dari dampak tidak langsung sanksi dan tindakan sukarela oleh perusahaan," kata Rystad Energy Kamis dalam sebuah catatan kepada klien.
Advertisement