COVID-19 Dorong Negara untuk Lebih Perhatikan Layanan Kesehatan Mental dan Psikososial Masyarakat

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa COVID-19 meningkatkan prevalensi kecemasan global sebesar 25 persen.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 05 Mar 2022, 13:00 WIB
Ilustrasi kesehatan mental (Gambar oleh Wokandapix dari Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa COVID-19 meningkatkan prevalensi kecemasan global sebesar 25 persen.

Kekhawatiran tentang potensi peningkatan kondisi kesehatan mental telah mendorong 90 persen negara yang disurvei untuk memasukkan kesehatan mental dan dukungan psikososial dalam rencana tanggapan COVID-19 mereka.  Namun, kesenjangan dan kekhawatiran besar tetap ada.

“Informasi yang kami miliki sekarang tentang dampak COVID-19 pada kesehatan mental dunia hanyalah puncak gunung es,” kata Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus.

“Ini adalah peringatan bagi semua negara untuk lebih memerhatikan kesehatan mental dan melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam mendukung kesehatan mental populasi mereka,” imbuhnya mengutip keterangan pers WHO Jumat (4/3/2022).

Simak Video Berikut Ini


Stres Isolasi

Salah satu penyebab meningkatnya kecemasan di masyarakat disebabkan oleh tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tekanan tersebut yakni isolasi-sosial akibat pandemi.

Isolasi membuat kegiatan bekerja, belajar, dan bersosialisasi menjadi sangat terbatas. Di sisi lain, kesepian, ketakutan akan infeksi, penderitaan dan kematian untuk diri sendiri dan orang yang dicintai, kekhawatiran keuangan juga disebut sebagai pemicu stres yang mengarah pada kecemasan dan depresi.

Di kalangan petugas kesehatan, kelelahan telah menjadi pemicu utama pemikiran bunuh diri.


Kelompok yang Paling Berisiko

Laporan Global Burden of Disease menunjukkan bahwa pandemi telah memengaruhi kesehatan mental masyarakat.

Kelompok yang paling terdampak adalah anak muda dan perempuan. Para pemuda dilaporkan memiliki risiko tinggi terhadap perilaku bunuh diri dan melukai diri sendiri.

Ini juga menunjukkan bahwa perempuan telah terkena dampak yang lebih parah daripada pria dan bahwa orang-orang dengan kondisi kesehatan fisik yang sudah ada sebelumnya, seperti asma, kanker, dan penyakit jantung, lebih mungkin mengembangkan gejala gangguan mental.

Data menunjukkan bahwa orang dengan gangguan mental yang sudah ada sebelumnya tampaknya tidak rentan terhadap infeksi COVID-19. Namun, ketika orang-orang ini terinfeksi, mereka lebih mungkin menderita rawat inap, penyakit parah dan kematian dibandingkan dengan orang tanpa gangguan mental.

Orang dengan gangguan mental yang lebih parah, seperti psikosis memiliki risiko yang lebih tinggi lagi.


Upaya Penanganan

Melihat data tersebut, negara-negara anggota WHO telah mengakui dampak COVID-19 pada kesehatan mental dan mengambil tindakan.

Survei terbaru WHO tentang kesinambungan layanan kesehatan esensial menunjukkan bahwa 90 persen negara bekerja untuk memberikan dukungan kesehatan mental dan psikososial kepada pasien dan responden COVID-19.

Selain itu, pada Majelis Kesehatan Dunia tahun lalu, negara-negara menekankan perlunya mengembangkan dan memperkuat layanan dukungan kesehatan mental dan psikososial sebagai bagian dari penguatan kesiapsiagaan, respons, dan ketahanan terhadap COVID-19 dan keadaan darurat kesehatan masyarakat di masa depan.

Mereka mengadopsi Rencana Aksi Kesehatan Mental Komprehensif 2013-2030 yang diperbarui, yang mencakup indikator kesiapan untuk kesehatan mental dan dukungan psikososial dalam keadaan darurat kesehatan masyarakat.

 


Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi COVID-19

Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya