LBH GP Ansor Sebut Kasus Suap Eks Sekretaris MA Nurhadi Bukti Mafia Peradilan Bermain

Dia khawatir, tidak tuntasnya penyidikan kasus Nurhadi maka mafia peradilan yang terlibat di dalamnya akan bermain lagi di kasus yang lain.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Mar 2022, 16:18 WIB
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron (tengah) menyampaikan keterangan terkait penangkapan mantan Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya Rezky Hebriyono di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/6/2020). KPK resmi menahan Nurhadi dan Rezky yang menjadi DPO sejak pertengahan Februari 2020. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta Desakan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntaskan kasus mafia peradilan yang melibatkan eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) semakin kuat. LBH GP Ansor mengingatkan agar lembaga anti rasuah itu tidak mengabaikan keinginan masyarakat tersebut.

Kepala Divisi Advokasi dan Ligitasi LBH GP Ansor Dendy Zuhairil Finsa mengatakan kasus suap dan gratifikasi eks Sekretaris MA Nurhadi merupakan bukti bahwa mafia peradilan bermain dalam proses hukum di Indonesia.

"Tak bisa dibantah, kasus suap eks Sekretaris MA Nurhadi adalah potret dunia hukum di Indonesia di mana mafia peradilan bermain," kata Dendy, Jumat (4/3/2022).

Karena itu, Dendy berpendapat, penuntasan kasus Nurhadi menjadi urgent dituntaskan, karena menyangkut kredibilitas dunia hukum Indonesia.

"Kalau mafia peradilan tidak ada, maka secara otomatis enggak ada tuh praktik suap menyuap di peradilan," tukasnya.

Dia khawatir, tidak tuntasnya penyidikan kasus Nurhadi maka mafia peradilan yang terlibat di dalamnya akan bermain lagi di kasus yang lain.

"Dalam kasus Nurhadi ini KPK belum menyentuh mafia peradilannya," ucapnya.

Dia membaca dan mengamati dari beberapa berita bahwa sejumlah orang yang terlibat dalam kasus suap terhadap mantan Sekretaris MA Nurhadi sampai saat ini masih bebas berkeliaran.

Dia berpendapat, penuntasan kasus Nurhadi ini bisa dijadikan pintu pembuka dalam memberantas mafia peradilan di Indonesia.

Sebelumnya, koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Bonyamin Saiman menyebutkan, ada tiga orang saksi yang pernah diperiksa oleh penyidik KPK lalu dilepas begitu saja. Padahal, kata Bonyamin, tiga saksi yang diperiksa penyidik KPK tersebut diduga ikut bermain dalam kasusnya Nurhadi.

"Tapi mereka dilepas begitu saja. Kok bisa ya," ucap Bonyamin, Selasa (7/2/2022).

Ia juga mempertanyakan kenapa rencana diterapkannya pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terhadap Nurhadi hingga kini belum dilaksanakan.

Diketahui, pada 17 Juni 2020 lalu, penyidik KPK memeriksa lima orang saksi untuk dimintai keterangan dalam kasus suap dan gratifikasi eks Sekretaris MA Nurhadi. Kelima sanksi itu adalah Direktur PT Delta Beton Indonesia tahun 2016 Roy Tahuwidjaja, dua pihak swasta bernama Mahendra Dito dan Moh Suli, serta manajer Hotel Subreeze bernama Bona Sakti Nasution, dan seorang karyawan Hotel Sunbreeze Dita Yusuf Pambudi.

Pelaksana tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri menyatakan pihaknya tengah mengumpulkan bukti-bukti kasus TPPU untuk menjerat Nurhadi dan pihak-pihak lainnya.

"Kami sedang mengumpulkan bukti-buktinya," kata Ali Fikri, Rabu (16/2/2022).

Dia menjelaskan, TPPU akan diterapkan apabila memang ada bukti permulaan yang cukup dugaan terjadi perubahan bentuk dari hasil tindak pidana korupsi menjadi aset-aset bernilai ekonomis seperti properti, kendaraan, surat berharga, dan lain-lain.

 


Suap dan Gratifikasi Perkara

Seperti diketahui, Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono telah dijatuhi hukuman enam tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Keduanya dinyatakan bersalam dalam kasus suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di MA.

Di kasus ini, keduanya disebut menerima suap sebesar Rp 25,7 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) pada tahun 2014-2016, Hiendra Soenjoto terkait kepengurusan dua perkara.

Selain itu, keduanya juga terbukti menerima gratifikasi sebanyak Rp 13,7 miliar dari sejumlah pihak yang berperkara, baik di tingkat pertama, banding, maupun peninjauan kembali (PK).

Nurhadi dan menantunya itu terbukti menerima suap dan gratifikasi penanganan perkara di lingkungan MA sepanjang 2011-2016 sebesar Rp 49 miliar.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya