Liputan6.com, Yogyakarta - Burger selama ini dikenal sebagai western food atau makanan khas barat. Namun jangan salah, Keraton Yogyakarta juga punya menu burger yang tak kalah lezat, tetapi juga sarat filosofi dan pesan moral.
Songgo buwono adalah makanan tradisional khas Kota Yogyakarta. Penamaan kudapan ini berasal dari kata songgo berarti menyangga, buwono artinya langit atau kehidupan.
Baca Juga
Advertisement
Jadi, songgo buwono memiliki makna penyangga kehidupan. Songgo buwono ini seperti sandwich atau burger.
Komponen utamanya adalah choux pastry atau adonan kue yang dipakai untuk kulit kue sus. Kue sus tersebut dibelah menjadi dua. Setelah itu, bagian kue sus yang bawah ditimpa dengan selada.
Di atas selada diberi ragout, yaitu adonan campuran daging cincang, wortel, buncis, susu, jagung, susu, tepung terigu, keju, dan berbagai bumbu. Di atas ragout diberi setengah buah telur rebus.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Makna Setiap Lapisan Songgo Buwono
Dikutip dari berbagai sumber, setiap komponen makanan ini memiliki simbol dan makna tersendiri. Pada bagian terbawah songgo buwono terdapat daun selada. Daun selada menggambarkan hamparan pepohonan dan tumbuhan hijau yang asri dan lestari.
Di atas selada terdapat kue sus yang menyiratkan bentuk bumi, tempat semua makhluk hidup lahir dan mati.
Isian di dalam kue sus adalah ragout. Ragut menceritakan tentang keberagaman masyarakat yang mampu berpadu dalam sebuah keselarasan.
Setelah ragout yang menceritakan keselarasan masyarakat, terdapat simbol pegunungan yang dilukiskan oleh telur ayam, dan mayones yang menyiratkan langit.
Terakhir, sebagai pendukung, songgo buwono memiliki simbol bintang dari acar.
Advertisement
Pernikahan
Kudapan ini menjadi spesial karena dulunya songgo buwono termasuk makanan kelas atas. Kudapan ini lahir di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Sultan Hamengkubuwono VIII menjadi sosok yang menginspirasi pembuatan makanan ini, sehingga makanan ini dapat juga disebut sebagai makanan priyayi.
Pada zaman dahulu kudapan ini hanya disajikan pada hajat tertentu, seperti perayaan pernikahan keraton. Tidak hanya itu, makanan ini pun memiliki banyak filosofi yang menggambarkan kehidupan manusia.
Diyakini pula, sajian songgo buwono dalam pesta pernikahan menggambarkan kesiapan kedua mempelai untuk mengarungi kehidupan secara mandiri. Jadi, tidak heran apabila kudapan ini sering dijumpai saat pesta pernikahan di daerah Yogyakarta.
Songgo buwono konon juga menjadi penunjuk keadaan politik masa itu di Yogyakarta. Pada masa Sri Sultan Hamengkubuwono VIII, kondisi kesultanan di Yogyakarta sedikit dipengaruhi oleh keberadaan Belanda.
Oleh sebab itu, kuliner yang disajikan pun tentu bernuansa western atau cenderung kebarat-baratan. Songgo buwono sebagai salah satu menu yang diinisiasi oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VII pun menjadi menu hasil akulturasi budaya Jawa dan Barat.
Apabila diamati, rupanya songgo buwono tidak hanya hasil akulturasi dari gaya Jawa dan Belanda, tetapi ada beberapa style dari negara-negara lain. Misalnya, kue sus yang berasal dari Belanda, saus mayones dari Prancis, serta acar ala Tiongkok yang menghiasi kudapan ini.
Penulis: Tifani