Liputan6.com, Jakarta - Pandemi COVID-19 membuat negara-negara di dunia melek betapa pentingnya dana kesehatan global. Pembentukan dana kesehatan global ini menjadi salah satu yang diusung dalam Presidensi G20 Indonesia. Indonesia turut menyuarakan pembentukan dana kesehatan global.
Pada rangkaian Forum G20 Indonesia, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menekankan, perlunya dana kesehatan global demi mengatasi kendala biaya, terutama pemenuhan alat kesehatan yang dibutuhkan selama terjadi wabah atau pandemi. Upaya ini juga sebagai persiapan seandainya wabah lain melanda di masa mendatang.
Baca Juga
Advertisement
Dana kesehatan global bakal mempunyai prinsip cara kerja yang mirip dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Bedanya, IMF memberikan bantuan kepada negara yang mengalami krisis ekonomi atau moneter, sedangkan dana kesehatan global memberikan bantuan kepada negara yang mengalami krisis kesehatan.
“Pandemi menghadirkan dilema kepada kita, perlunya investasi mendesak dan signifikan untuk meningkatkan dana kesehatan global pada saat banyak negara merasakan kesulitan keuangan. Utamanya, memenuhi kebutuhan terkait penanganan nyawa yang diselamatkan, stabilitas ekonomi global dan pertumbuhan jangka panjang,” ujar Tedros saat menghadiri acara High Level International Seminar: Strengthening Global Health Architecture secara virtual, ditulis Senin (7/3/2022).
“Seperti yang Anda ketahui, telah banyak ulasan tentang respons global terhadap pandemi, termasuk pembiayaan menghadapi pandemi di masa depan, yang berkaitan dengan PPR atau pandemic prevention, preparedness and response. Kami telah menganalisis rekomendasi soal PPR dan mendiskusikan dengan negara-negara G20.”
Diskusi tersebut juga dilakukan dengan Kelompok Kerja Penguatan Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat Kesehatan yang diketuai oleh Indonesia, Malaysia dan Amerika Serikat. PPR ini pun merupakan bagian dari rancangan Arsitektur Kesehatan Global.
“Bulan lalu, Dewan Eksekutif WHO menugaskan saya untuk mengembangkan serangkaian proposal untuk memperkuat Arsitektur Kesehatan Global untuk dipertimbangkan oleh semua negara anggota dan World Health Assembly pada bulan Mei,” sambung Tedros.
“Yang terpenting, Arsitektur Kesehatan Global harus dibangun di atas pondasi. Nah, prinsip-prinsip kuncinya, seperti harus adil dengan tidak ada (negara) yang tertinggal. Itu harus inklusif dengan keterlibatan semua negara. harus multi-sektoral yang melibatkan mitra dari industri dan seluruh elemen bantuan.”
Tutup Kesenjangan Dana
Prinsip-prinsip adil membangun Arsitektur Kesehatan Global, lanjut Tedros Adhanom Ghebreyesus, terdapat tata kelola diperlukan untuk memastikan respons global terkoordinasi dengan baik. Sistem dan alat yang diperlukan untuk mencegah, mendeteksi, dan merespons epidemi dan pandemi dengan cepat.
“Dan pembiayaan yang dibutuhkan untuk mendukung sistem tersebut–dana kesehatan global. Sudah ada kemajuan di masing-masing bidang ini. Rekomendasi utama dari instrumen baru yang mengikat secara hukum untuk memberikan fokus terhadap pandemic prevention, preparedness and response,” katanya.
“Pada sesi khusus World Health Assembly tahun lalu, sebanyak 194 negara anggota, termasuk semua anggota G20 memutuskan untuk bernegosiasi instrumen yang akan dibangun. Ini juga mendukung rekomendasi kepala dewan negara untuk memberikan kepemimpinan politik tingkat tinggi demi tindakan yang cepat dan terkoordinasi saat pandemi terjadi.”
Kemajuan yang signifikan dalam meningkatkan sistem respons pandemi diperlukan untuk memperkuat Arsitektur Kesehatan Global. Menurut analisis WHO, diperlukan kolaboratif pengawasan dan peringatan dini. Kemudian memprioritaskan penelitian dan pemerataan akses penanggulangan medis dan pasokan penting, dari ventilator sampai vaksin.
“Kita harus tetap melakukan kesiapsiagaan pandemi dan darurat kesehatan masyarakat serta melibatkan komunitas tangguh. Selanjutnya, kita butuh intervensi kesehatan yang aman dan kerangka sistem Kesehatan yang tangguh untuk menyelamatkan nyawa,” tambah Tedros.
“Kesiapsiagaan pandemi dan koordinasi strategi respons dan operasi darurat jelas butuh pembiayaan pada masing-masing elemen. Ini akan membutuhkan investasi besar yang kami perkirakan mencapai 31 miliar Dollar AS per tahun.”
Adanya kebutuhan pembiayaan dana kesehatan mencakup perawatan, kebutuhan tes COVID-19, dan vaksin yang besar, Tedros mengajak negara-negara menutup kesenjangan pembiayaan COVID-19, terlebih, negara-negara yang masih kesulitan dalam pembiayaan selama masa krisis kesehatan COVID-19.
“Secara khusus, kami mencari dukungan Anda untuk mengisi kesenjangan pembiayaan sebesar 16 miliar Dollar AS untuk perawatan, tes, dan vaksin. Mari kita akhiri pandemi ini yang fase akutnya (diharapkan) dapat berakhir tahun ini,” lanjutnya.
Pada Februari 2022, WHO meluncurkan permintaan 23,4 miliar Dollar AS kepada negara-negara kaya untuk kebutuhan sumbangan melawan COVID-19. Sumbangan disalurkan ke Access to COVID Tools Accelerator (ACT-A) untuk dapat digunakan sebagai dana darurat kesehatan global tahun ini.
ACT-A membutuhkan 23,4 miliar Dollar AS untuk program mengembangkan, memproduksi, menyediakan, dan mendistribusikan alat untuk mengatasi pandemi. Mulai vaksin, alat tes COVID-19, perawatan, dan alat pelindung diri.
Program ACT-A selama periode Oktober 2021 sampai September 2022. Diharapkan dari skema sumbangan tersebut, sejumlah 16 miliar Dollar AS dapat terkumpul di muka dari uang negara-negara kaya.
Advertisement
Bantuan Dana untuk Negara Berpenghasilan Rendah
Pada 28 Oktober 2021, Access to COVID-19 Tools (ACT) Accelerator telah meluncurkan rencana strategis dan anggaran untuk 12 bulan ke depan, menguraikan tindakan mendesak dan pendanaan yang diperlukan untuk mengatasi ketidakadilan yang mendalam dalam tanggapan COVID-19, menyelamatkan jutaan nyawa dan mengakhiri fase akut pandemi.
Akses yang tidak merata ke tes, perawatan, dan vaksin COVID-19 memperpanjang pandemi di mana-mana dan mempertaruhkan munculnya varian baru yang bisa lebih berbahaya yang dapat menghindari alat tes.
Dana 23,4 miliar Dollar AS untuk membantu negara-negara yang paling berisiko, khususnya negara berpenghasilan rendah. Rencana strategis baru ini mengintegrasikan temuan-temuan utama dari Strategic Review bahwa ACT-A beralih ke fokus yang lebih bertarget dalam mengatasi kesenjangan akses di negara-negara yang kurang terlayani, memberikan vaksin, perawatan, tes dan peralatan pelindung yang paling dibutuhkan.
Adapun rencana strategis dan anggaran yang dikumpulkan ACT-A akan memungkinkan kemitraan untuk menjalankan sejumlah program, antara lain:
- Mendukung vaksinasi COVID-19 di 91 negara berpenghasilan rendah yang tergabung di COVAX Advance Market Commitment (AMC) dan negara-negara lain, dengan memberikan dosis yang cukup dan mendukung kampanye vaksinasi untuk mencapai cakupan 43 persen di negara-negara AMC – berkontribusi pada target global 70 persen cakupan vaksinasi di semua negara pada pertengahan 2022.
- Membantu 144 negara yang tergabung dalam Diagnostics Consortium mencapai tingkat pengujian minimum setidaknya 1 per 1.000 orang per hari dan memastikan kapasitas pengurutan genetik yang memadai secara global untuk mendeteksi varian baru yang menjadi perhatian dengan cepat.
- Memastikan 120 juta pasien COVID-19 di negara berpenghasilan rendah dan menengah memiliki akses ke perawatan yang ada dan yang sedang berkembang, termasuk oksigen medis.
- Mengamankan 2,7 juta petugas kesehatan di negara berpenghasilan rendah dan menengah dengan alat pelindung diri (APD).
Tedros Adhanom Ghebreyesus menyampaikan, untuk mengakhiri pandemi, pemerintah, produsen, dan penyumbang harus sepenuhnya mendanai untuk ACT-A demi mengatasi ketidakadilan dalam akses ke vaksin, tes, dan perawatan COVID-19.
“Mendanai sepenuhnya ACT-Accelerator adalah keharusan keamanan kesehatan global bagi kita semua – waktu untuk bertindak adalah sekarang,” ujarnya melalui pernyataan resmi WHO pada 28 Oktober 2021.
Rencana ACT-A untuk mengatasi ketidakadilan dalam akses ke vaksin, tes, dan perawatan COVID-19 akan membantu mencegah lebih dari 5 juta potensi kematian. Hal ini juga penting untuk pemulihan ekonomi global. IMF memperkirakan kerugian pendapatan global sebesar 5,3 triliun Dollar AS pada tahun 2026 jika sebagian besar dunia tetap tidak terlindungi dari COVID-19.
Sebagai catatan, lembaga mitra utama ACT-Accelerator meliputi CEPI, FIND, Gavi, The Global Fund, UNICEF, Unitaid, Wellcome, WHO, World Bank, dan The Bill & Melinda Gates Foundation. Rincian kebutuhan pendanaan ACT-Accelerator sebesar 23,4 miliar Dollar AS dari Oktober 2021 hingga September 2022:
- S$7,0 miliar untuk diagnostik
- US$7,0 miliar untuk vaksin
- US$3,5 miliar untuk terapi
- US$5,9 miliar untuk Sistem Kesehatan dan Konektor Respons
Guncangan dari Pandemi yang Pernah Melanda
Adanya inisiatif membangun dana kesehatan global, menurut Tedros Adhanom Ghebreyesus membutuhkan keterlibatan semua sektor, terutama keuangan. Pandemi COVID-19 telah berdampak besar pada ekonomi, bisnis, dan pekerjaan.
“Prospek ekonomi global tetap tidak pasti, tapi kita tidak perlu heran. Sejarah baru-baru ini mengajarkan kepada kita bahwa epidemi dan pandemi adalah fakta alam dan dapat menyebabkan guncangan sosial dan ekonomi yang mendalam dalam jangka panjang,” tuturnya.
Tedros mencontohkan, saat pandemi Flu Spanyol pada 1918 terjadi guncangan ekonomi terbesar di abad ke-20 setelah masa perang dunia dan depresi besar. Pada tahun 2003, dunia dihebohkan dengan SARS yang menyebabkan kerugian setidaknya 59 juta Dollar AS.
Kemudian pada tahun 2009, wabah Flu Babi yang disebabkan infeksi virus influenza H1N1 melanda. Flu Babi menghancurkan industri pariwisata dan industri daging babi di Meksiko.
Pada tahun 2014 dan 2015 terjadi wabah Ebola di Afrika Barat. Wabah menyebabkan harga komoditas melemah, menyebabkan pengangguran yang lebih tinggi, dan defisit fiskal. IMF memotong proyeksi pertumbuhan Afrika sub-Sahara sebesar 10 persen,” tambah Tedros.
“Tentu saja, tidak satu pun dari peristiwa ini yang menandingi skala pandemi COVID-19 yang memicu resesi global terdalam sejak Perang Dunia II. Pandemi empat kali memberi kita dilema, perlunya investasi mendesak dan signifikan untuk meningkatkan keamanan kesehatan global pada saat banyak negara merasakan kesulitan.”
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memperkirakan sebagian besar ekonomi negara akan kembali ke jalurnya seperti sebelum pandemi pada tahun 2023 mendatang. Namun, ada catatan, yaitu dengan utang yang lebih besar dan potensi pertumbuhan yang lemah.
“Ini adalah pilihan memerlukan keahlian teknis dan legitimasi global upaya untuk meningkatkan sistem tata kelola negara dan pembiayaan kesehatan global. Semua ditentukan oleh bangsa-bangsa di dunia,” imbuh Tedros.
“Kita tidak bisa berharap untuk mencegah pandemi di masa depan jika kita tidak bisa mengakhiri yang satu ini (pandemi COVID-19). Kita harus sangat serius dalam hal ini.”
Advertisement
Kesiapan Investasi Kesehatan
Tak hanya dana kesehatan, Tedros Adhanom Ghebreyesus juga menyebut pentingnya investasi kesehatan masyarakat. Investasi mencakup promosi dan pencegahan penyakit sebagai upaya menekan kasus dari wabah yang terjadi.
Penekanan investasi kesehatan masyarakat diambil dari pembelajaran pandemi COVID-19 yang terjadi. Bahwa ketika awal pandemi COVID-19 melanda, hampir semua negara di dunia, termasuk negara berpenghasilan tinggi terlihat tidak siap, baik dari pemeriksaan (testing) dan pelacakan kontak (contact tracing).
“Satu pelajaran dari pandemi utamanya kesehatan adalah investasi. Saya pikir, kita akan mengatasi masalah soal pandangan kesehatan dilihat dari segi biaya dan sekarang beralih ke kesehatan sebagai investasi,” terang Tedros.
“Saat pandemi COVID-19, bahkan di negara-negara dengan ekonomi tertinggi atau terkuat sekalipun, tidak bisa melakukan contact tracing. Bukan tidak bisa, tapi karena tidak siap. Mereka tidak berinvestasi dalam kesehatan masyarakat. Saya pikir sekarang saatnya untuk memerhatikan kesehatan masyarakat dan berinvestasi dalam kesehatan masyarakat.”
Selanjutnya, pelajaran pandemi adalah negara-negara berpenghasilan tinggi terkejut dengan tingginya investasi mereka pada teknologi medis berteknologi tinggi daripada kesehatan masyarakat mencakup promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.
“Jika Anda ingat, kita pernah dilanda Ebola dari 2018 hingga akhir 2019, hampir dua tahun. Tentu saja, kami berhasil menahannya sehingga tidak menyebar luas ke negara-negara lain. Di daerah wabah Ebola, kami menindaklanjuti atau melakukan pelacakan kontak hampir 25.000 sehari,” pungkas Tedros.
Belajar dari pandemi COVID-19, pengawasan terkait pengurutan genom sekuens. Ada dua kesenjangan pengurutan genom, yakni surveilans genom dan genomik kecerdasan buatan dengan teknologi lebih canggih. Pengawasan yang diperlukan berupa kolaboratif dalam pengurutan genom dan berbagi data genom.
Tedros mengatakan, kolaborasi pengurutan dan berbagi data genom tengah berjalan saat ini dengan kerja sama hub (pusat) di Berlin, Jerman dan didukung oleh hub WHO di Swiss.
“Berbagi (data genom) patogen sangat penting. Banyak negara tidak benar-benar ingin berbagi, tetapi dengan menetapkan langkah ini dan beberapa sudah mulai secara sukarela berbagi. Ya, mulai berbagi sukarela,” jelasnya.
Infografis Indonesia Siapkan Skenario Ubah Status Pandemi Covid-19 Jadi Endemi
Advertisement