Liputan6.com, Jakarta - Seluruh negara di dunia masih berjibaku menghadapi pandemi COVID-19 demi berupaya menekan kasus COVID-19 dan meraih status endemi. Bahkan, sejumlah negara mulai melonggarkan dan mencabut pembatasan, melepas masker, dan meniadakan karantina. Walau begitu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) belum mencabut status pandemi COVID-19.
Di tengah perang COVID-19 yang belum berakhir, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama mengingatkan, dunia harus bersiap dengan pandemi lain yang akan terjadi di masa depan. Kewaspadaan dan persiapan perlu dilakukan sebagai langkah antisipasi.
Baca Juga
Advertisement
Antisipasi terhadap pandemi di masa depan melihat pembelajaran dari sejarah pandemi yang pernah terjadi di dunia. Salah satu contoh konkret, tatkala Flu Babi yang disebabkan virus influenza H1N1 melanda Amerika dan Eropa pada 2009 dan terjadi dua tahun. Ketika WHO menyatakan Flu Babi selesai, terselip catatan penting: kita harus waspada pandemi selanjutnya.
“Pada tanggal 11 Juni 2009, Dirjen WHO pada saat itu mengatakan, dunia memasuki pandemi influenza yang selesai dua tahun. Ini bukti juga kalau pandemi bisa berakhir cepat, tentu saja berbeda dengan COVID-19 yang kita alami sekarang,” tutur Tjandra saat webinar bertajuk Menilik Arsitektur Kesehatan Global (Global Health Architecture) dalam G20 Tahun 2022, ditulis Senin (7/3/2022).
“Yang menarik adalah dari pengalaman menghadapi pandemi 2009 ini disebutkan tiga hal. Satu di antaranya, pandemi sudah dinyatakan berhenti, tapi kita harus terus waspada terhadap pandemi lain yang akan terjadi selanjutnya. Jika ditarik situasi sekarang, apabila pandemi COVID-19 dinyatakan berhenti, kita harus waspada pandemi berikutnya.”
Dua pembelajaran lain dari Flu Babi, yakni pandemi memang sudah selesai sudah selesai, tapi virusnya continue–tetap akan terus ada. Artinya, bila pandemi COVID-19 berhenti, kita bisa memperkirakan bahwa virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 akan bersirkulasi pada tahun-tahun yang akan datang.
Kemudian, walaupun pandemi virus H1N1 sudah berhenti, akan banyak pertanyaan yang muncul ke depannya terkait penyakit yang berpotensi menjadi wabah atau pandemi. Begitu pula dengan COVID-19, timbul pertanyaan bagaimana kehidupan pasca pandemi dan hal-hal apa yang perlu diwaspadai.
Pandemi Akan Terus Ada
Menurut Tjandra Yoga Aditama, pandemi akan tetap ada seiring merebaknya penyakit, virus, dan bakteri yang bersirkulasi dan hidup bersama manusia. Upaya yang dapat dilakukan adalah bagaimana manusia mengantisipasi dan menangani jika sewaktu-waktu terjadi wabah dan pandemi, seperti COVID-19 yang terbilang baru.
“Pandemi akan terus ada dari waktu ke waktu. Ada sejumlah penyakit yang bisa berujung pandemi, bisa juga ada yang tidak. Misalnya, ada virus dengue dan ancaman marburg virus,” paparnya.
“Marburg virus–penyakit ganas yang bisa menyebabkan kematian dengan risiko fatalitas hingga 88 persen–ini baru-baru ini muncul lagi beritanya, tertulis sebagai ancaman pandemi baru. Tapi sebenarnya penyakit ini sudah lama (terdeteksi pertama kali di Marburg, Jerman, pada 1967).”
Berdasarkan laporan A World At Risk yang dirilis WHO periode 2019-2021 saja, para peneliti mengeluarkan rekomendasi terhadap penyakit yang berpotensi menjadi outbreak dengan kasus yang dapat memicu lepas kendali. Beberapa di antaranya, penyakit pes, Ebola, virus Zika, dan Dengue.
Menilik potensi penyakit di atas, Tjandra turut menyoroti, penyakit yang tergolong sebagai Penyakit Tropis Terabaikan atau yang disebut Neglected Tropical Diseases (NTDs) patut diwaspadai peningkatan kasusnya.
Di Indonesia, NTDs yang menjadi fokus pengendalian oleh Kementerian Kesehatan, yaitu leprosi, filariasis, frambusia, soil-transmitted helminths/STHs–infeksi cacing tanah, dan skistosomiasis–infeksi parasit yang disebabkan oleh cacing trematoda.
Selain Penyakit Tropis Terabaikan, HIV dan tuberkulosis (TBC) perlu menjadi perhatian. Kedua penyakit ini masuk dalam pembahasan rapat WHO pada awal pandemi COVID-19 tahun 2020. Fokus utama, bagaimana dengan penanganan penyakit lain, seperti HIV dan TBC saat pandemi COVID-19.
“Disebutkan COVID-19 menjadi semacam super katalisator, artinya proses perubahan yang ada super cepat. Pada awal COVID-19 melanda tahun 2020, WHO menggelar rapat Menteri Kesehatan,” ungkap Tjandra.
“Pada April 2020 terlihat kasus COVID-19 makin lama naik. Nah, gimana dengan (penanganan) penyakit lain. Dibahas pada rapat keempat WHO pada saat itu soal HIV dan TBC, contohnya, obat Antiretroviral (ARV) untuk HIV, saat awal COVID-19 melanda terkendala distribusi. Negara produsen ARV boleh buka, tapi enggak ada truk yang mengangkut obat dari pabrik ke pelabuhan.”
Pada rapat keempat WHO yang digelar April 2020, inti pembahasan soal bagaimana pelayanan kesehatan penyakit lain tetap berjalan selama COVID-19. Persoalan penyakit lain, Tjandra juga menekankan, alangkah baiknya ikut menjadi pembahasan dalam Presidensi G20 Indonesia, termasuk Penyakit Tropis Terabaikan.
“Bukan tidak mungkin permasalahan kesehatan lain makin memburuk. Karena perhatian orang fokus pada COVID-19 dan orang-orang takut berobat. Beberapa penyakit lain seperti TBC dan HIV juga Neglected Tropical Diseases bisa saja diangkat di G20,” sambungnya.
Advertisement
Bersiap Hadapi Pandemi Lain
Berbagai penyakit yang berpotensi menjadi wabah dan pandemi, seperti Penyakit Tropis Terabaikan, termasuk zoonosis penting diantisipasi. Hal ini agar dunia bersiap dengan segala peningkatan kasus yang bisa saja meledak terjadi.
Kesiapan menghadapi pandemi lain, terang Tjandra Yoga Aditama melihat pembelajaran pandemi COVID-19. Ditegaskan WHO, dunia tidak siap menghadapi pandemi COVID-19, terlebih pada awal penyebaran virus Corona yang cepat meluas dan negara-negara maju ikut panik.
“Ini perlu penanggulangan yang harus disiapkan. Jangan sampai 10 tahun ke depan, misalnya, tahun 2032 terjadi pandemi lain, kita masih mengatakan, the world is not prepare (dunia tidak siap),” jelasnya.
“Jauh sebelum COVID-19 terjadi, pada September 2019, WHO menyebut, risiko pandemi dunia dapat mengejutkan orang. Sekarang, sudah terjadi dan terbukti bahwa dunia tidak siap menghadapi COVID-19.”
Kilas balik awal COVID-19 menyeruak, Tjandra menuturkan, status ‘pandemi’ dikeluarkan WHO pada 11 Maret 2020. Padahal, temuan kasus COVID-19 pertama kali yang terdeteksi di Wuhan, Tiongkok pada Desember 2019.
Perjalanan penetapan COVID-19 menjadi status pandemi memerlukan proses panjang, terlebih dahulu dinilai apakah virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 masuk kategori status kedaruratan kesehatan global (Public Health of Emergency International Concern/PHEIC). Pertanyaan juga mengalir dari komite di dalam WHO sendiri, bahwa penetapan status pandemi pada Maret 2020 terbilang terlambat.
“Proses COVID-19 berstatus pandemi selang 3 bulan dan waktu itu sudah ada laporan kasus dari 114 negara, 4.290 orang meninggal, dan 180.000 kasus. Di dalam komite WHO juga mempertanyakan, kenapa baru ditetapkan (sebagai pandemi pada Maret 2020),” ujar Tjandra.
“Anggota yang tergabung dalam komite menilai hal itu terlambat. Ya, karena pertama kali rapat untuk menetapkan COVID-19 masuk PHEIC ada yang tidak sepakat. Barulah pada rapat kedua WHO, COVID-19 dinyatakan masuk PHEIC.”
Regulasi mengenai PHEIC yang diterbitkan WHO pada tahun 2005 dan mulai diberlakukan tahun 2007. Seluruh negara anggota WHO, termasuk Indonesia mengikuti regulasi ini. Laporan PHEIC berfokus pada penyakit yang menimbulkan risiko untuk menular dan memerlukan respons internasional.
Semua negara harus melaporkan penyakit yang berpotensial menimbulkan ancaman atau kejadian luar biasa yang mengancam kesehatan masyarakat.
Perkuat Arsitektur Kesehatan Global
Demi bersiap menghadapi pandemi di masa depan, Tjandra Yoga Aditama menegaskan, perlu penguatan Arsitektur Kesehatan Global (Restructuring the Global Health Architecture). Pembahasan Arsitektur Kesehatan Global menjadi topik yang disuarakan Indonesia sebagai tuan rumah Presidensi G20 2022.
Ada tiga sub agenda terdiri atas, pertama membangun ketahanan sistem kesehatan global (building global health system resilience). Kedua, menyelaraskan standar protokol kesehatan global (harmonizing global health protocol standards).
Ketiga, mengembangkan pusat manufaktur dan pengetahuan global untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons terhadap pandemi (expending global manufacturing and knowledge hubs for Pandemic prevention, preparedness and response).
Ada 7 poin menurut Tjandra yang harus diperhatikan perihal penguatan Arsitektur Kesehatan Global. Pertama, kerja sama multisektoral harus dilakukan dan hal itu tidaklah mudah. Kedua, kebutuhan keuangan atau pendanaan diperlukan.
Ketiga, kewaspadaan dunia bukan hanya terhadap COVID-19 saja, melainkan perkiraan pandemi lain yang bisa terjadi di kemudian hari.
“Kalau saya ibaratkan seperti tentara yang terus latihan, tapi belum tahu kapan perang terjadi. Begitu juga soal pandemi, tenaga kesehatan kita harus dilatih mempersiapkan pandemi masa mendatang. Ini perlu juga latihan multisektoral latihan. Dan itu belum kita lakukan,” pungkas Tjandra yang juga Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI.
Keempat, peningkatan surveilans. Sebab, kita membutuhkan dana yang valid dan terjamin keamanannya. Kelima, persiapan segala platform demi pemenuhan kebutuhan alat kesehatan, misal oksigen, vaksin, dan ventilator.
Keenam, perlu ada pendanaan global. Ketujuh, masing-masing negara mempunyai badan yang cepat merespons pandemi.
Contoh konkret terbangunnya Arsitektur Kesehatan Global, tambah Tjandra, dalam kegiatan surveilans. Saat ini, sudah ada hub (pusat) untuk surveilans Epidemi dan Pandemi Intelligence di Berlin, kerja sama WHO dan Jerman. Lalu ada Artificial Intelligence di bidang kesehatan yang memanfaatkan teknologi canggih.
“Indonesia punya pengalaman PHEIC dan Presidensi G20 menurut saya baik. Kita punya penanganan kesehatan rumah sakit berpangkal primary health care, Universal Health Coverage (UHC–JKN) di masa kini maupun masa depan,” tambahnya.
“Keterlibatan sektor kesehatan dengan penggunaan teknologi dapat menjadi persiapan menghadapi pandemi. Yang tak boleh lupa, protokol kesehatan dan gaya hidup sehat menjadi bagian hidup sehari-hari.”
Advertisement