Wall Street Anjlok Imbas Konflik Rusia-Ukraina Picu Lonjakan Harga Minyak

Wall street yang tertekan ini seiring investor semakin khawatir harga energi yang lebih tinggi imbas konflik Rusia-Ukraina.

oleh Agustina Melani diperbarui 08 Mar 2022, 07:05 WIB
Reaksi pialang Michael Gallucci saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Liputan6.com, New York - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street anjlok pada perdagangan Senin, 7 Maret 2022 dan menyusul penurunan wall street selama empat minggu berturut-turut.

Wall street yang tertekan ini seiring investor semakin khawatir harga energi yang lebih tinggi imbas konflik Rusia-Ukraina akan memperlambat ekonomi dan meningkatkan inflasi.

Pada penutupan perdagangan wall street, indeks Dow Jones melemah 797,42 poin menjadi 32.817,38. Hal itu seiring koreksi yang terjadi di saham American Express merosot hampir 8 persen. Indeks S&P 500 susut hampir tiga persen menjadi 4.201,09, dan berada di wilayah koreksi. Indeks Nasdaq tergelincir 3,6 persen menjadi 12.830,96 dan sekarang berada di wilayah koreksi.

Seiring berlanjutnya perang Rusia-Ukraina, investor memantau potensi konsekuensi ekonomi dari gangguan pasokan energi global.

"Akibatnya stagflasi dengan cepat menjadi fokus utama dalam strategi portofolio,” ujar Chief Investment Strategist Leuthold Group, Jim Paulsen dilansir dari CNBC, Selasa (8/3/2022).

Ia menambahkan, pertumbuhan yang lebih lambat dan inflasi yang lebih persisten mendorong ketakutan dan tindakan investor.

Di sisi lain, harga minyak menguat. Harga minyak sempat sentuh level tertinggi sejak 2008 di tengah perang yang sedang berlangsung antara Rusia dan Ukraina.

Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) mencapai USD 130 per barel, kemudian ditutup naik 3,2 persen menjadi USD 119,40. Harga minyak Brent bertambah menjadi USD 139,13 per barel, tertinggi sejak Juli 2008, dan ditutup ke posisi USD 123,21.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Gerak Saham di Wall Street

Ekspresi pialang Michael Gallucci saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street jatuh ke zona bearish setelah indeks Dow Jones turun 20,3% dari level tertingginya bulan lalu. (AP Photo/Richard Drew)

Seiring harga minyak yang naik diikuti saham energi. Saham Baker Hughes naik 4,7 persen. Saham Chevron bertambah 2,1 persen dan Exxon Mobil menguat 3,6 persen.

Sementara itu, saham bank termasuk di antara saham yang alami koreksi terbesar. Saham Citigroup melemah 1,8 persen dan saham Bancorp AS susut 3,9 persen. Hal ini seiring investor semakin khawatir tentang perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Saham McDonald’s, Starbucks dan Nike melemah di tengah kekhawatiran seiring harga gas sentuh USD 4 memukul keuangan konsumen. Pada Minggu, 6 Maret 2022, harga gas melonjak ke level tertinggi sejak 2008 dengan rata-rata secara nasional mencapai USD 4,06. Saham maskapai, jalur pelayaran, dan perjalanan turun karena alasan yang sama.

Saham Bed Bath & Beyond melonjak 34,2 persen setelah Chairman GameStop Ryan Cohen mengungkapkan memiliki hampir 10 persen saham melalui perusahaan investasinya RC Ventures.


Sanksi kepada Rusia

(Foto: Ilustrasi wall street, Dok Unsplash/Sophie Backes)

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya sedang mempertimbangkan untuk melarang impor minyak dan gas alam Rusia sebagai tanggapan atas serangan negara itu terhadap Ukraina.

Demikian juga Ketua DPR Nancy Pelosi. Ia mengatakan sedang menjajaki undang-undang yang kuat untuk melarang impor minyak Rusia, sebuah langkah yang akan jauh lebih isolasi Rusia dari ekonomi global.

“Pasar saham sedang bergulat dengan kejutan pasokan komoditas yang besar, terutama harga minyak dan khawatir ini bisa berubah menjadi kejutan stagflasi, bukan hanya kejutan inflasi,” ujar Ekonom Oxford Economics, Kathy Bostjancic.

Ia mengatakan, saham akan menjadi kunci dari perubahan harga minyak dan prospek embargo minyak dari Rusia.


Prediksi PDB AS

Pasar Saham AS atau Wall Street.Unsplash/Aditya Vyas

Sementara itu, sejumlah pengamat menilai pertumbuhan Amerika Serikat (AS) akan melambat dengan inflasi lebih tinggi. Ekonomi Eropa akan beralih mendekati resesi dan produk domestik bruto (PDB) Rusia akan turun dua digit di tengah konflik geopolitik.

Rata-rata, pengamat prediksi produk domestik bruto (PDB) AS naik 3,2 persen pada 2022, dan turun 0,3 persen dari perkiraan Februari 2022. Di sisi lain, wall street sudah menyesuaikan dengan pertumbuhan yang lebih lambat. Pengamat dari Citi hingga UBS, Yardeni Research dan Evercore ISI telah menurunkan prospek saham AS di tengah ketegangan geopolitik.

Yardeni melihat indeks S&P 500 merosot 16 persen pada 2022 menajdi 4.000. Selain itu, meski jauh dari risiko, imbal hasil obligasi pemerintah naik menunjukkan kurangnya permintaan untuk aset safe-haven. Imbal hasil acuan obligasi bertenor 10 tahun di 1,77 persen, naik sedikit karena kekhawatiran inflasi mendorong kenaikan imbal hasil.

Data positif dari Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat tidak cukup bagi investor untuk mengabaikan kekhawatiran tentang perang Rusia dan Ukraina. Pada Jumat, AS melaporkan ekonomi menambahkan 678.000 pekerjaan pada Februari 2022. Kenaikan pekerjaan bulanan melampaui harapan ekonom 440.000 seperti yang diprediksi Dow Jones. Tingkat pengangguran turun menjadi 3,8 persen.

Beberapa laporan data ekonomi dijadwalkan akan dirlis pekan ini termasuk indeks harga konsumen untuk Februari 2022. The Federal Reserve atau bank sentral Amerika Serikat juga akan menggelar rapat pada 15-16 Maret 2022.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya