Harga Bahan Pokok Mayoritas Naik, Waspada Krisis Pangan

Sejumlah harga pangan secara bersamaan naik dalam belakangan ini.

oleh Liputan6.com diperbarui 08 Mar 2022, 13:10 WIB
Petani tengah memanen padi organik di Cingebul Kecamatan Lumbir, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah harga pangan secara bersamaan naik dalam belakangan ini. Semua penyebabnya karena mayoritas bahan pangan tersebut berasal dari impor.

Berbagai masalah pangan ini mengundang perhatian DPR RI. Anggota Komisi IV DPR RI Firman Subagyo mengatakan, parlemen sejatinya sudah jauh-jauh hari mengingatkan pemerintah khususnya Kementan soal pentingnya produksi pangan untuk ketahanan pangan nasional. Bahkan, sebelum datangnya pandemi dan konflik Rusia - Ukraina yang membuat harga komoditas pangan terdongkrak.

"Inikan selalu menjadi satu kontroversi. Kalau kita mengatakan produksi bahan pangan kita baik kenapa Indonesia mesti mengimpor. ini yang harus dievaluasi. jangan kita bilang surplus, tetapi barangnya tidak ada. Kalau memang ada surplus, barangnya ada dimana? Ayo kita cek dan lihat secara bersama-sama. kita tidak cukup hanya dengan statemen," tegasnya kepada wartawan, Selasa (8/3/2022).

Melihat hal ini, ia pun mempertanyakan kinerja Kementan yang seharusnya fokus mengamankan produksi pangan.

"Kalau kita tidak menyiapkan diri sebaik-baiknya maka akan muncul dua krisis besar di dunia ini yaitu krisis energi dan juga krisis pangan," ujarnya.

Ia melihat, produksi pangan Indonesia belum bisa diharapkan. Menurutnya, untuk mencapai swasembada pengan memang bukan perkara mudah.

Tapi, Indonesia harus mempersiapkan dengan maksimal. Langkah yang seharusnya dilakukan pemerintah, kata Firman, adalah menginventaris seluruh lahan yang memungkinkan untuk digunakan sebagai lahan produksi pangan.

"Ukurannya sangat sederhana. Kalau 2019 yang lalu, anggaran (Kementan) kan sekitar Rp6 triliun, sekarang sudah puluhan triliun. Dengan anggaran puluhan triliun itu sangat mudah mengukurnya. Kementan itu outputnya produksi pangan, kalau sampai sekarang itu kita masih impor, berarti itu kegagalan, ada miss management," tandasnya.

Polisi Partai Golkar ini merujuk pernyataan PBB yang sempat merilis soal pentingnya mengantisipasi kebutuhan pangan, sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat signifikan. Negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia pun diminta bersiap karena diyakini akan lebih merasakan dampaknya.

"Kita tidak boleh bergantung pada negara lain karena impor," ucapnya.

 

 


Mayoritas Impor

Pekerja mengolah kedelai untuk pembuatan tempe di kawasan Duren Tiga Raya, Jakarta, Kamis (24/2/2022). Produsen tahu tempe kembali berproduksi usai aksi mogok selama tiga hari karena harga kedelai yang naik hingga menyentuh Rp12.000 per kg dalam beberapa bulan terakhir. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas menuturkan, gejolak kenaikan harga sejumlah komoditas yang terjadi belakangan, lebih banyak terjadi akibat faktor dari perdagangan komoditas secara global. Kenaikan harga makin terasa mengingat untuk komoditas pangan, Indonesia sangat mengandalkan pasokan impor.

“Gandum, bawang putih hampir 100 persen impor, kedelai 97 persen impor, gula 70 persen impor, daging lebih dari 50 persen impor. Ketika harga dunia naik setelah pandemi, pasti kita akan kena imbas,” ucap Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) tersebut.

Kerentanan akan ketahanan pangan makin membesar, kata Dwi, dengan sejumlah peristiwa yang tak terprediksi dan di luar kemampuan pemerintah untuk mengontrolnya.

Ia mencontohkan hal ini terjadi pada komoditas kedelai yang harganya tetiba melonjak karena turunnya produksi dunia. Dengan kurangnya produksi, tak hanya harga kedelai yang naik, harga minyak nabati lainnya, seperti minyak sawit, pun ikut terkerek naik.

Idealnya, kata Dwi, kebutuhan pangan dalam negeri bisa dipenuhi oleh petani dalam negeri. Namun, lanjutnya, hal ini sangat sulit terjadi karena tingginya disparitas harga pangan produsi dalam negeri dengan produk impor.

Ia melihat, upaya peningkatan produksi dalam negeri sendiri terutama oleh Kementerian Pertanian, baru sebatas retorika belaka.

“Memang ada contohnya jika Kementerian Pertanian pernah berhasil? Segala macam program, hanya sekadar program semata. Kebijakan (wajib tanam) dan target swasembada bawang putih saja, gak jelas lagi hasilnya,” kata Dwi.

 


Impor Pangan

Aktivitas bongkar muat kontainer di dermaga ekspor impor Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (5/8/2020). Menurut BPS, pandemi COVID-19 mengkibatkan impor barang dan jasa kontraksi -16,96 persen merosot dari kuartal II/2019 yang terkontraksi -6,84 persen yoy. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Ketidakberhasilan peningkatan produksi sendiri, kata Dwi, bisa dilihat dari data impor 8 komoditas pangan utama yang terus meningkat. Ia menyebut, pada tahu 2008, ada 8 juta ton komoditas pangan yang diimpor. Sepuluh tahun kemudian, volumenya melonjak mencapai 27,6 juta ton.

Sedikit menurun di tahun 2019 menjadi 25 juta ton, kemudian kembali meningkat menjadi 26 juta ton di 2020 dan naik lagi menjadi 27,7 juta ton di 2021. Selain meningkatnya permintaan, kenaikan impor pangan ini terjadi karena adanya disparitas harga komoditas pangan lokal dan impor.

Lebih murahnya harga komoditas pangan dengan sejumlah insentif tarifnya, lanjut Dwi, membuat petani pun lama kelamaan enggan berproduksi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya