Indonesia Kalah dari Thailand, Malaysia, dan Vietnam soal EBT

Pengamat mendesak agar Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) bisa segera diselesaikan.

oleh Tira Santia diperbarui 09 Mar 2022, 13:00 WIB
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Poso di Poso, Sulawesi Tengah, Jumat (25/2/2022). Pengoperasian PLTA Poso dan PLTA Malea mendukung pencapaian target energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada 2025 dan net zero emission 2060. (Dok PLN)

Liputan6.com, Jakarta Pengamat energi Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mendesak agar Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) bisa segera diselesaikan.

Sebab, keberadaan UU EBT penting sebagai payung hukum pengelolaan, pemanfaatan, dan optimalisasi sumber daya energi baru dan terbarukan.

Dia melihat Indonesia memiliki sumber daya energi baru terbarukan yang belum dikelola secara optimal, sehingga memerlukan UU EBT untuk mendorong pengembangan dan pemanfaatannya.

Selain itu, peraturan perundang-undangan yang saat ini ada dan mengatur mengenai energi baru dan terbarukan masih tersebar sehingga belum dapat menjadi landasan hukum yang kuat, komprehensif, dan menjamin kepastian hukum.

“Keberadaan UU EBT penting sebagai payung hukum untuk mengatur dan menetapkan harga jual-beli yang selama ini menjadi kendala utama dalam pengembangan dan pengusahaan EBT di Indonesia,” kata Komaidi dikutip dari ReforMiner Note, Rabu (9/3/2022).

Menurutnya, Indonesia menuju sebagai negara industri dan memerlukan energi dalam jumlah besar. Kebutuhan diproyeksikan tidak akan dapat hanya dipenuhi dari sumber energi fosil, namun memerlukan sumber energi lain dari energi baru dan terbarukan.

Karena pengembangan EBT memiliki peran penting dalam implementasi kebijakan transisi energi menuju sistem energi nasional yang berkelanjutan. Pemanfaatan EBT juga merupakan bagian dari upaya dan komitmen Indonesia dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Karena itu, keberadaan UU EBT menjadi penting.

Bahkan, sejumlah negara ASEAN seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia telah memiliki Undang Undang khusus terkait EBT. Data menunjukkan, pasca penerbitan UU EBT pengembangan EBT pada ketiga negara tersebut tercatat lebih ekspansif.

 


Masih Rendah

Pekerja melakukan pengecekan panel surya di atas gedung di kawasan Jakarta, Senin (31/8/2020). Pemerintah tengah menyiapkan peraturan presiden terkait energi baru terbarukan dan konservasi energi agar target 23 persen bauran energi di Indonesia bisa tercapai pada 2045. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sementara, pemanfaatan EBT Indonesia tercatat relatif rendah dibandingkan negara-negara ASEAN yang lain. Rata-rata pemanfaatan EBT Indonesia sekitar 2,82 persen dari total potensi. Sedangkan, rata-rata pemanfaatan EBT di ASEAN sekitar 10 persen dari total potensi.

Terbitnya UU EBT penting dan dapat menjadi payung hukum yang lebih kuat untuk pelaksanaan kebijakan insentif -fiskal dan nonfiskal- yang diperlukan untuk pengembangan dan pengusahaan EBT.

Sekaligus UU EBT dapat menjadi payung hukum untuk membentuk Badan Usaha Khusus (BUK) Perencanaan dan Investasi EBT. BUK akan berperan sebagai executing agency bagi regulator dalam rangka pengembangan EBT, transisi energi nasional, dan percepatan peningkatan investasi.

“Penerbitan UU EBT berpotensi dapat meningkatkan kapasitas ekonomi nasional melalui kebijakan TKDN. Saat ini sekitar 70 persen komponen EBT masih dipenuhi dari impor. Keberadaan UU EBT dapat mendorong pengembangan industri pendukung EBT sehingga nilai tambah ekonomi dari pengembangan dan pengusahaan EBT dapat lebih besar lagi,” ujarnya.

Demikian, UU EBT penting untuk mengatur hak dan kewajiban para stakeholder baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, badan usaha swasta, dan konsumen dalam kegiatan pengelolaan, pengusahaan, dan pemanfaatan EBT.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya