Liputan6.com, Makassar - Polda Sulsel akhirnya menetapkan 10 orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Ibu dan Anak Fatimah Provinsi Sulsel TA 2016.
"Ada 10 orang tersangka dan 5 orang diantaranya kita amankan dari Jakarta dan tim sementara perjalanan membawa mereka kembali ke Makassar," ucap Kasubdit III Tipikor Dit Reskrimsus Polda Sulsel, Kompol Fadli, Rabu (9/3/2022).
Baca Juga
Advertisement
Para tersangka, lanjutnya, merupakan para pelaksana dalam kegiatan pengadaan alkes tersebut. Diantaranya ada berperan sebagai Pokja dan juga ada beberapa dari dinas terkait yang pada dasarnya masuk dalam kepanitian pelaksanaan kegiatan.
"5 orang tersangka lainnya ada di Makassar dan itu segera juga kita amankan," tutur Fadli.
Ia mengungkapkan, pihaknya akan terus melanjutkan penyidikan dalam mengungkap benang merah kasus korupsi dalam pelaksanaan kegiatan yang merugikan negara cukup besar tersebut.
"10 tersangka ini baru tahap pertama dan kita akan pendalaman terus guna mencari pihak-pihak lain yang disinyalir kuat turut berperan menciptakan kerugian negara dalam kegiatan alkes di RS Fatimah ini. Jadi kita tak berhenti di sini saja," ungkap Fadli.
BPK Rampungkan Audit
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) telah merampungkan audit perhitungan kerugian negara yang dimohonkan oleh Penyidik Subdit Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel keterkaitannya dengan penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Ibu dan Anak Fatimah Provinsi Sulsel TA 2016 tersebut.
Hasil audit dari BPK RI diterima pihaknya pada Jumat 28 Januari 2022. Di mana BPK menemukan terdapat kerugian negara dari kegiatan pengadaan alkes di RSKD Ibu dan Anak Fatimah Provinsi Sulsel itu sebesar Rp9,3 miliar.
Diketahui, dalam penyidikan kasus pengadaan alkes RS Fatimah ini kabarnya telah memeriksa sekitar 50 orang saksi. Satu diantaranya saksi mantan Wagub Sulsel, Agus Arifin Nu'mang.
Selain mendalami keterangan sejumlah saksi yang terkait, penyidik juga intens berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) guna menghitung kerugian negara yang ditimbulkan dalam pelaksanaan kegiatan yang menguras APBD Sulsel tahun anggaran 2016 sebesar Rp20 miliar tersebut. Alhasil BPK menemukan kerugian negara senilai Rp9,3 miliar.
Dari hasil penyidikan ditemukan modus operandi para pelaku diantaranya melakukan dugaan mark-up dan alat kesehatan (alkes) yang diadakan diduga black market.
Advertisement
Sempat Mendapat Desakan Aktivis Anti Korupsi
Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) Kadir Wokanubun sebelumnya mengatakan, jika betul dari hasil penyidikan atas kegiatan tersebut ditemukan adanya indikasi mark-up pada pembelanjaan barang hingga pada barang yang diadakan juga diduga terdapat black market sebagaimana penjelasan Kasubdit III Tipikor Polda Sulsel sebelumnya, maka tak hanya rekanan tapi semua yang terlibat dalam pelaksanaan tentunya sangat patut dimintai pertanggungjawaban.
Penyidik, kata Kadir, tinggal mendalami adanya unsur perbuatan melawan hukum utamanya keterkaitannya dengan pelaksanaan kewenangan. Misalnya pada peran Pengguna Anggaran atau Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Panitia Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) serta tim pemerika barang.
"Nah sejauh mana mereka menjalankan kewenangannya. Apakah ada dugaan kelalaian atau malah ada kesengajaan yang dilakukan sehingga harga barang yang dibelanjakan diduga dimark-up bahkan disinyalir barang yang diadakan itu ternyata black market. Saya kira fokus penyidik harus ke sini," terang Kadir dimintai tanggapannya secara terpisah.
Ia mengungkapkan, dalam ketentuan perundang-undangan terkait pengadaan barang dan jasa cukup jelas diatur mengenai kewenangan masing-masing, baik itu Pengguna Anggaran (PA) atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Panitia Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) hingga tim pemeriksa barang.
"Pertanyaannya kemudian, misalnya PA atau KPA kenapa bisa leluasa menerbitkan Surat Perintah Pembayaran (SPM) kepada rekanan sementara barang yang diadakan tidak sesuai isi kontrak bahkan diduga black market. Kan ada kewenangan meneliti atau memeriksa dulu fakta lapangan sebelum pembayaran. Demikian juga PPK, PPTK dan pemeriksa barang, kok bisa meloloskan barang yang diduga tidak sesuai kontrak. Selain harganya diduga mark up, juga diduga barangnya black market," ungkap Kadir.
Ia menduga dalam kegiatan pengadaan alkes di RSKD Ibu dan Anak di RS Fatimah Provinsi Sulsel tersebut, tak hanya terang indikasi kelalaian, tapi ada dugaan kesepakatan jahat yang terbangun sejak awal kegiatan baik dalam proses perencanaan, lelang hingga pada pelaksanaan pekerjaan.
"Tapi kita tunggu saja hasil penyidikan lebih dalam oleh Polda Sulsel. Tentunya kami sangat mendukung kasus ini diungkap secara utuh dan menyeret semua yang terlibat di dalamnya," ujar Kadir sebelumnya.
Simak juga video pilihan berikut ini: