Liputan6.com, Yogyakarta - Anton Sony Wibowo Dokter spesialis Telinga, Hidung, Tenggorokan, dan Kepala Leher (THT-KL) Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM menanggapi viralnya informasi yang diterima masyarakat melalui media sosial bahwa kuku penyintas Covid-19 yang mengonsumsi Favipiravir menyala saat disinari Ultraviolet (UV).
Ia meminta masyarakat tidak langsung percaya dengan unggahan maupun pesan yang beredar terkait fluoresensi pada kuku maupun rambut manusia karena mengonsumsi favipiravir.
Anton menyatakan secara klinis di rumah sakit belum pernah menemukan fenomena fluoresensi atau terpancarnya sinar oleh suatu zat yang telah menyerap sinar atau radiasi elektromagnetik lain pada kuku atau rambut manusia akibat mengonsumsi obat favipiravir.
Dari hasil literatur review yang dilakukan, ia menemukan ada laporan satu kali oleh Ozunal dan Guder (2021), di salah satu jurnal dalam bentuk laporan kasus (case report).
"Belum tentu semua informasi tersebut bisa diaplikasikan pada semua penderita Covid-19 karena perlu penelitian lebih lanjut dan tidak menggeneralisasi. Masyarakat sebaiknya tetap fokus pada terapi dan diagnosis resmi dari Kementerian Kesehatan," katanya, Rabu (9/3/2022).
Baca Juga
Advertisement
Anton mengatakan terkait kasus ini secara ilmiah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode yang lebih baik. Selain itu, juga perlu dilakukan meta analisis untuk mengetahui level of evidence dari laporan kasus tersebut.
Anton menjelaskan favipiravir merupakan salah satu antivirus yang digunakan pada pengobatan Covid-19. Obat Favipiravir ini merupakan salah satu obat dengan mekanisme kerja sebagai ribonucleotide analog dan menghambat RNA polimerase pada virus sehingga akan menghambat replikasi virus.
"Jadi konsumsi favipiravir akan menghambat perkembangbiakan virus Covid-19 dalam tubuh pasien sedangkan adanya fluoresensi pada tubuh manusia karena penggunaan favipiravir masih perlu penelitian lebih mendalam lagi," terang dosen FKKMK UGM ini.