Melihat Kembali Sisi Konflik Wadas : Ono Rembug, Ayo Dirembug

Ini adalah opini kritis yang berisi pendapat tentang pandangan apa yang terjadi di Desa Wadas, Purworejo, Jateng.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Mar 2022, 10:26 WIB
DR Algooth Putranto, penulis opini tentang sudut pandang terkait kasus Desa Wadas yang menghebohkan dunia nasional.

Opini Oleh : DR Algooth Putranto

Warga Jawa Tengah, Peneliti dan Praktisi Resolusi Konflik Pasca Sarjana Usahid

SUATU hari, seorang rekan pewarta bertanya pada penulis soal sengkarut Desa Wadas di Purworejo. Saya jawab singkat: Abot! (berat). Saya katakan berat karena secara sejarah Purworejo yang dulu bernama Brengkelan itu banyak menghasilkan perlawanan dan pahlawan.

Saya menyebut Brengkelan, agar tak keliru dengan Bagelen yang sebetulnya lebih besar dari Brengkelan. Bagelen adalah karesidenan yang penting karena merupakan pintu gerbang bagi Kasultanan Yogyakarta dari arah barat. Nah Brengkelan itu ibu kota Bagelen.

Sejak masa Mataram Islam, bagi yang akrab dengan kisah Panembahan Senopati tentu ingat sepak terjang para Kenthol (bangsawan) Bagelen. Kawasan ini pula yang dipecah belah oleh Perjanjian Giyanti. Sebagian jadi milik Kasultanan Yogyakarta, sebagian lagi milik Kasunanan Surakarta.

Pada masa Perang Jawa, wilayah ini jadi medan pertarungan penting Diponegoro melawan Belanda. Sementara di masa Kemerdekaan lahir tokoh-tokoh nasional seperti Oerip Soemohardjo, WR Soepratman, Kasman Singodimedjo, Ahmad Yani hingga Sarwo Edhie Wibowo.

Lalu mengapa saya katakan penyelesaian kisruh Desa Wadas yang diputuskan secara sepihak oleh Mas Gubernur Jawa Tengah sebagai lokasi galian batu andesit untuk konstruksi Bendungan Bener yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) akan berat?

Alasan utama saya karena sejak awal nasib Desa Wadas diputuskan tanpa ada dialog yang cukup. Secara tradisi orang Jawa Tengah memiliki prinsip ono rembug ayo dirembug (ada masalah ya dibahas). Sesuatu yang mungkin diabaikan.

Tanpa dialog yang baik dan sekadar mengedepankan pendekatan hukum yang hitam putih, wajar sebagian masyarakat Desa Wadas melawan habis-habisan. Bagaimana tak melawan. Ini urusan hidup mereka.

Lho bukannya ada kompensasi? Ganti untung? Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Pak Moeldoko dalam rapat koordinasi (rakor) di Gedung Bina Graha, 4 Maret 2020 bahkan meminta agar proses ganti rugi sudah tuntas sebelum Lebaran tahun ini.

Tujuan Pak Moeldoko, penulis yakini didasari niat baik. Agar konflik segera selesai. Namun sepertinya beliau abai atau malah mungkin tidak mendapat informasi yang jernih bahwa Desa Wadas bukan lokasi PSN Bendungan Bener yang memang bisa—maaf dipaksa-digusur dengan menggunakan regulasi.

 


Aturan, Terminologi, dan Analisis Wacana

Proses pengukuran hutan di Desa Wadas, Purworejo berlangsung tegang. Aparat mengamankan sejumlah warga. (Liputan6.com/ Istimewa)

Dari aturan paling tinggi ada UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum lalu ada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan aturan paling baru ada Peraturan Pemerintah (PP) No. 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Jika pada UU Nomor 2 Tahun 2012 memungkinkan adanya suara pihak pemilik tanah, nah di masa UU Cipta Kerja kesempatan musyawarah terkesan diabaikan. Repotnya, akhir-akhir ini ada kesan, masyarakat tak puas ya harus menerima berproses di pengadilan.

Nah kalau dulu terminologi yang digunakan adalah ganti rugi, di masa Pak Jokowi yang kerap disuarakan pemerintah adalah ganti untung yang dipopulerkan oleh Pak Chairul Tanjung saat menjabat Menko Bidang Perekonomian di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Terminologi ganti untung terdengar lebih merdu karena tidak senegatif pemberian ganti rugi. Masyarakat menerima keuntungan karena harus menyerahkan lahan yang dimiliki untuk kepentingan umum, padahal lahan itu bernilai emosional atau dapat digunakan bagi kepentingan yang lebih menguntungkannya.

Nah terminologi ini yang rajin diputar keras dan berulang oleh Pemerintah. Hasilnya, masyarakat yang terkena proyek pun kehilangan suaranya dan terstigma: ‘jika keberatan menerima ganti untung maka menolak pembangunan’

Padahal jika dilihat menggunakan analisis wacana kritis Norman Fairclough, terminologi ganti untung sangat politis karena pihak pengganti kerugian menghegemoni pihak yang menerima ganti untung itu sepenuhnya memperoleh keuntungan, tidak rugi.

Bagaimana dengan Desa Wadas? Sudah jelas wilayah itu bukan lokasi PSN. Mereka hidup di atas bumi yang kaya batu andesit, namun pendekatan dilakukan sama rata seperti warga di lokasi Bendungan Bener, yakni ganti untung.

Susahnya narasi adanya rembug melalui dialog yang setara justru minim disuarakan, termasuk oleh Mas Ganjar dan Pak Moeldoko sekalipun. Adapun dialog baru digelar, ketika keributan terjadi itupun masih diperburuk dengan narasi dikotomi: orang dalam dan orang luar.

Padahal, penulis melihat konflik Desa Wadas timbul ya karena peran orang-orang dalam yang memilih diam. Sementara orang luar, terlibat karena ada orang dalam menjerit tanpa daya dan hanya paham cara melawan dengan otot.

Dalam konteks Jawa Tengah, pendekatan dialogis atau rembug berhasil dilakukan Pak Jokowi ketika menjadi Wali Kota Solo ketika memindahkan para pedagang kaki lima di Monumen Banjarsari ke Pasar Klithikan Notoharjo atau Wali Kota Semarang, Mas Hendrar Prihadi yang berhasil menutup lokalisasi Sunan Kuning tanpa gegeran.

Dalam kasus relokasi pedagang kaki lima di Solo dan penutupan lokalisasi di Semarang yang berhasil itu. Mereka menerima digusur karena mendapat ganti untung finansial dan didampingi agar tetap mapan setelah dicerabut dari kehidupan lamanya sehingga tak gamang ketika memulai hidup baru.

Nah, dalam kasus Desa Wadas, apa jalan keluarnya?. Cukup dikunjungi? Lalu minta maaf?, kemudian ditawari ganti untung? Mboten cukup! Harus ada tawaran yang memastikan urip warga hingga anak cucu. Untuk itu, dengarkan harapan wong cilik yang penulis yakini orang-orang baik.

Semoga

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya