Liputan6.com, Jakarta - Konflik antara Rusia dan Ukraina tampaknya dapat menguntungkan perekonomian negara Asia Tenggara, terutama Indonesia. Salah satunya terkait komoditas batu bara.
Gangguan ekspor batu bara dari Rusia yang tengah disanksi atas invasi di Ukraina, disebut akan membuat China mengimpor lebih banyak batu bara dari Indonesia.
Advertisement
Banyak negara di kawasan ini adalah importir minyak dan akan berada di bawah tekanan yang cukup hebat, kata Anthony Nafte, ekonom senior dari CLSA, dikutip dari laman CNBC International, Kamis (10/3/2022).
Dalam segmen Street Signs Asia oleh CNBC, Nafte mengatakan bahwa lonjakan harga komoditas baru-baru ini telah "jauh lebih tinggi" dari yang diantisipasi dan berpotensi semakin panjang.
Sejak Rusia invansi Ukraina, harga komoditas telah melonjak di mana harga minyak mentah mencapai tingkat yang tidak pernah terlihat sejak 2008.
Sebagai informasi, Rusia adalah produsen minyak utama sementara Ukraina adalah pengekspor besar komoditas lain seperti gandum dan jagung.
Tetapi menurut Nafte, Indonesia dapat bertahan dengan baik di lingkungan saat ini karena ekonominya yang digerakkan oleh komoditas.
"Lebih dari 50 persen ekspor mereka berasal dari komoditas, dan sekarang Indonesia sudah mendapatkan posisi di mana harga komoditas akan bertahan lebih tinggi lebih lama," paparnya.
Indonesia Bakal Untung
Nafte melanjutkan, Rusia saat ini merupakan pemasok batu bara terbesar kedua ke China. Namun disrupsi suplai dapat mendorong Beijing untuk beralih ke Indonesia untuk mengisi kesenjangan.
"Indonesia akan diuntungkan dari efek harga dan juga dari segi volume," ungkap Nafte.
Di sisi lain, Ekonomi Thailand berada di posisi yang berlawanan dengan Indonesia.
Kondisi saat ini menghadirkan tantangan lanjutan untuk ekspor dan pariwisata, yang merupakan pendorong ekonomi terbesar Thailand hingga akhir tahun.
"Gangguan terhadap perdagangan global ini akan menjadi angin yang besar bagi ekspor," kata ekonom tersebut.
"Untuk kebangkitan pariwisata, saya pikir 2022 terlalu dini. Masih akan ada banyak masalah," sebutnya.
Selain itu, neraca pembayaran Thailand juga menghadapi "kerentanan terbesar" di antara negara-negara berkembang Asia Tenggara.
"Mereka mengalami defisit transaksi berjalan yang besar tahun lalu karena hilangnya pendapatan pariwisata, dan nilai tukar mereka terlihat sangat rentan," imbuh Nafte.
Advertisement