Pertahankan Harga BBM Pertalite Dinilai Tepat dalam Jangka Pendek

Kementerian Keuangan telah memastikan bahwa harga Pertalite tidak naik, tetap dijaga di Rp 7.650 per liter .

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Mar 2022, 12:20 WIB
Petugas SPBU mengisi bahan bakar jenis pertalite kepada pengguna sepeda motor di Pamulang, Tangerang Seatan, Banten. Pertamina memberi diskon harga BBM jenis pertalite menjadi setara premium khusus bagi pengguna sepeda motor, angkot, taksi, dan bajaj. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta Keputusan pemerintah mempertahankan harga BBM Pertalite di tengah gejolak harga minyak dunia dinilai realistis dan tepat dalam jangka pendek untuk menjaga daya beli masyarakat. Namun kebijakan harga Pertalite dinilai tidak tepat apabila diterapkan dalam jangka panjang 

Kementerian Keuangan telah memastikan bahwa harga Pertalite tidak naik, tetap dijaga di Rp 7.650 per liter kendati angka keekonomian BBM dengan kadar oktan (research octane number/RON) 90 itu mencapai Rp 11.000-an per liter.

Jika dibandingkan dengan badan usaha swasta lain yang beroperasi di Indonesia, harga Pertalite masih paling murah karena pesaing menetapkan banderol rata-rata di atas Rp10.000 per liter.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede  mengatakan jika kebijakan penetapan harga BBM harus dilihat dari latar belakang. Di mana pemerintah berupaya melindungi daya beli masyarakat yang belum benar-benar pulih akibat pandemi COVID-19.

Dengan demikian, menjaga inflasi domestik tetap rendah, agar daya beli masyarakat terjaga, menjadi salah satu tujuan dari pemerintah dalam menjaga harga BBM Pertalite.

“Kami menilai, dalam jangka pendek, kebijakan ini dapat dilakukan pemerintah untuk menjaga daya beli, namun tidak untuk kebijakan yang bersifat jangka panjang dan setiap tahun harus terus disubsidi,” ujar Joshua melansir Antara, .

Menurut Josua, kebijakan subsidi BBM yang dilakukan setiap tahun menjadi kontraproduktif terhadap anggaran, mengingat subsidi BBM merupakan kegiatan konsumtif dan subsidi tersebut cenderung tidak tepat sasaran kepada masyarakat miskin dan menengah ke bawah.

Selain itu, disparitas harga yang tinggi berpotensi menimbulkan distorsi pasar dan tindakan menyalahgunakan subsidi seperti menjual ke industri, penyelundupan, dan sebagainya.

Josua menambahkan ada dua justifikasi dari pemberian subsidi BBM jenis Pertalite dalam jangka pendek saat ini.

Pertama, dengan kondisi pandemi COVID-19 banyak masyarakat rentan miskin dan menengah ke bawah yang semakin memburuk kondisi ekonominya di tengah pandemi ini.

Kelompok ini cenderung minim mendapatkan program perlindungan sosial dari pemerintah. Dengan demikian, mempertahankan daya beli kelompok ini menjadi penting agar pemulihan ekonomi terjaga.

“Akan tetapi, apabila perekonomian kembali ke level normalnya, pemerintah dapat kembali menyesuaikan kebijakan subsidi BBM ini,” katanya.

Justifikasi kedua, kata dia, kondisi harga minyak saat ini bisa dikatakan abnormal dampak dari tensi geopolitik yang meningkat yakni perang antara Rusia-Ukraina. Ke depan, peningkatan tensi geopolitik ini diperkirakan kembali mereda dan pada akhirnya akan menurunkan harga minyak mentah dunia kembali ke rata-rata harga jangka panjangnya.

“Di tengah kondisi abnormal ini, pemerintah berupaya untuk menekan dampaknya pada perekonomian domestik dengan memberikan subsidi BBM Pertalite,” ucapnya.

Saat ini, Pertalite memang belum menjadi BBM penugasan, namun apabila ke depan akan ditetapkan sebagai BBM penugasan, selisih antara biaya produksi dan harga jual penetapan sepenuhnya akan diganti oleh pemerintah. Akan tetapi, dengan Pertalite disubsidi, terdapat risiko peralihan konsumsi BBM dari sebelumnya BBM nonsubsidi ke BBM subsidi. Dengan demikian, terdapat potensi kenaikan jumlah konsumsi Pertalite di masa mendatang, apalagi jika disparitas harga cukup tinggi.

“Upaya kontrol tetap perlu dilakukan melalui pembatasan volume dan konsumsi, agar pemerintah mengetahui apakah terjadi kebocoran atau tidak dalam penyaluran BBM penugasan ini,” ujarnya.

 


Jaga Pasokan

Papan petunjuk BBM yang berada di SPBU, Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Secara terpisah, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya W Yudha mengatakan Pertamina sebagai badan usaha harus memastikan agar pasokan BBM jenis Pertalite tetap tersedia di pasaran.

Hal ini penting mengingat terjadi disparitas harga Pertalite dengan BBM jenis Pertamax yang lebih mahal.

“Pengawasan ini penting untuk mencegah adanya potensi tindakan dari pihak yang ingin mengambil keuntungan sepihak seperti mengoplos atau penimbunan BBM. Pengaturan penggunaan Pertalite itu jadi kepentingan bersama,” ujar Satya.

Konsumsi Pertalite dalam dua tahun terakhir terus meningkat. Sepanjang 2021, konsumsi Pertalite mencapai 23 juta Kilo Liter (KL), naik 30 persen dibandingkan 2020 yang tercatat 18 juta KL.

Irto P Gintings, Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga mengatakan hingga Januari 2022, porsi konsumsi Pertalite sekitar 52 persen dari total konsumsi BBM nasional. Sedangkan porsi BBM lainnya (Pertamax Series dan Dex Series) sekitar 13 persen yang merupakan BBM yang tidak disubsidi dan tidak dikompensasi.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya