Liputan6.com, Jakarta Softbank diketahui urung melanjutkan niatnya untuk menginvestasikan dananya dalam pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara. Hal ini berdampak pada dua hal penting yang dirasakan oleh Indonesia.
Alasannya, pendanaan proyek ibu kota negara dari investor sekelas Softbank bukanlah bisa didapatkan dari hal yang mudah. Justru sebaliknya, diperlukan berbagai upaya untuk bisa mendapatkan pendanaan dari investor sekelas Softbank, apalagi terkait proyek pemerintahan.
Advertisement
Di sisi lain, mundurnya Softbank membuat Indonesia perlu berpikir lebih keras. Apalagi, dengan adanya target pembangunan infrastruktur dasar IKN Nusantara yang dikejar selesai pada 2024 mendatang.
“Pertama, jika Pemerintah ingin mengejar pembangunan IKN tepat waktu maka investasi awal IKN sebanyak 80-90 persen harus diperoleh dari APBN. Ditengah target menurunkan defisit dibawah 3 persen pada 2023. Maka Pemerintah akan andalkan keuntungan penerimaan dari komoditas, dan menambah pembiayaan utang baru,” kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira kepada Liputan6.com, Sabtu (12/3/2022).
Kemudian, pekerjaan lainnya adalah Indonesia perlu mencari pengganti sumber pendanaan lain. Baik dari lembaga investasi hedge fund maupun sovereign wealth fund dari negara mitra, seperti Arab Saudi.
“Sayangnya mencari investor sekelas Softbank bukan hal mudah, apalagi proses pembangunan IKN segera dimulai. Butuh proses uji kelayakan, pembacaan situasi ekonomi dan hitung-hitungan manfaat sosial-politik bagi investor,” paparnya.
Bhima juga menduga mundurnya Softbank ini karena kondisi keuangan internal yang belum pulih pasca terdampak pandemi Covid019. Beberapa kerugian tercatat dialami oleh Softbank, dari Wework pada 2020, dan Alibaba pada 2021 belum tergantikan hingga saat ini.
“Mundurnya Softbank memberi sinyal kepada investor dibalik Softbank bahwa strategi perusahaan akan lebih fokus pada pendanaan startup digital, bukan proyek pemerintahan,” katanya.
Risiko Politik
Lebih jauh, Bhima mengatakan, ada indikasi kuat risiko politik dalam pembangunan IKN Nusantara akan berdampak cukup tinggi. Terlebih, saat ini tengah gaduh terkait perpanjangan masa jabatan presiden.
Ini berdampak pada investor yang akan lebih memilih untuk menunggu ketimbang melakukan investasi.
“Investasi di IKN bukan jangka pendek, tapi butuh kepastian jangka panjang. Dikhawatirkan risiko politik terkait pemilu akan membuat proyek IKN terkendala, bahkan bisa berhenti total,” katanya.
Faktor lainnya, berkaitan dengan memanasnya konflik antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan ketidakpastian ranah global. Akibat ini, investor membaca risiko inflasi yang tinggi di negara maju akan membuat biaya pembangunan IKN naik signifikan.
“Biaya besi baja, barang material konstruksi pun akan mengalami kenaikan imbas dari terganggunya rantai pasok global. Hal ini pernah terjadi saat pembangunan ibu kota negara di Putrajaya-Malaysia saat krisis moneter 1998, membuat biaya pembangunan naik signifikan,” katanya.
“Naiknya suku bunga di berbagai negara turut meningkatkan biaya dana (cost of fund) khususnya bagi investor yang memiliki rasio utang tinggi,” imbuh Bhima.
Advertisement