Kemelut Hak Paten Jadi Penyebab Ketimpangan Akses Vaksin COVID-19

Problem hak paten yang berujung terjadinya ketimpangan akses vaksin COVID-19.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 16 Mar 2022, 06:30 WIB
Seorang perempuan divaksinasi COVID-19 di Lawley, selatan Johannesburg, Afrika Selatan, Rabu (1/12/2021). Para ilmuwan mengatakan perlu waktu berminggu-minggu sebelum mereka lebih memahami betapa berbahayanya varian baru omicron. (AP Photo/ Shiraaz Mohamed)

Liputan6.com, Bali Ketimpangan akses vaksin COVID-19 di negara miskin dan kaya maupun antara negara berkembang dan maju masih belum terselesaikan. Afrika merupakan benua yang paling tertinggal dalam capaian vaksinasi. Tingkat vaksinasi COVID-19 di sana di bawah 10 persen dari total populasi.

Pada saat yang bersamaan, banyak negara di dunia, termasuk negara-negara G20 sudah sepenuhnya vaksinasi COVID-19. Bahkan ada negara yang memberikan suntikan booster ketiga sampai empat kali serta ketersediaan vaksin COVID-19 lebih dari populasi negaranya.

Menurut Lutfiyah Hanim dari Indonesia for Global Justice (IGJ), salah satu permasalahan yang urgensi diselesaikan adalah hak paten vaksin COVID-19. Persoalan hak paten atau lisensi ini tertuang dalam proposal yang disebut Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Waiver. 

Proposal TRIPS Waiver diusulkan oleh India dan Afrika Selatan pada 2 Oktober 2020 yang bertujuan mendesak negara-negara WTO untuk membebaskan (mengabaikan) kewajiban melindungi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terkait pencegahan, penanganan dan pengobatan COVID-19 secara sementara selama pandemi berlangsung. 

“Saat pandemi COVID-19, ketika banyak negara mengembangkan vaksin dan juga mencari obat-obatan, tepatnya bulan Oktober tahun 2020, India dan Afrika Selatan mengusulkan TRIPS Waiver pada Forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO),” beber Hanim saat acara C20 Kick Off Meeting WG Vaccine Access and Global Health: What can the G20 do to Achieve Vaccine Access for All? yang digelar di Conrad Hotel Bali, Janger, Bali ditulis Senin (14/3/2022).

“Mereka mengusulkan waiver (pengabaian) dari proposal atau aturan-aturan TRIPS Agreement, yaitu aturan-aturan mengenai paten, copyright, dan industrial design yang berkaitan dengan penanganan pencegahan dan perawatan dari COVID-19.”

Hingga 8 Maret 2022, proposal TRIPS Waiver didukung oleh 62 negara, termasuk Indonesia. Indonesia memutuskan menjadi salah satu negara co-sponsor proposal TRIPS Waiver. Keputusan ini ditegaskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada acara Global Health Summit 2021 pada 21 Mei 2021. Sebelumnya, Indonesia masih enggan menjadi co-sponsor meski menyatakan dukungannya.


Monopoli Perusahaan Farmasi

Seorang pekerja medis memberikan instruksi kepada orang-orang yang menunggu vaksin COVID-19 di aula olahraga di ibu kota Sarajevo, Bosnia, Rabu (21/4/2021). Bosnia telah melaporkan lebih dari 7.000 kematian COVID-19 dari 3,3 juta populasinya - di antara angka terburuk di Eropa. (AP Photo/Eldar Emric

Anjela Taneja dari Oxfam India menyambut langkah baik Indonesia mendukung proposal TRIPS Waiver. TRIPS Waiver sangat penting untuk memastikan akses pada obat-obatan, vaksin, dan peralatan medis lainnya terkait COVID-19 yang aman dan terjangkau ke semua negara-negara anggota.

Masalah ketimpangan vaksin COVID-19 juga berkaitan adanya monopoli perusahaan farmasi. Perusahaan farmasi mempunyai kekuatan untuk memilih bekerja sama dengan negara mana. Dilihat secara bisnis, ada keuntungan yang diperoleh.

“Saat ini, angka kasus COVID-19 lebih tinggi 4 kali lipat di negara-negara miskin dibandingkan dengan negara kaya. Meskipun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah mendeklarasikan (pandemi) COVID-19 hampir selesai, tapi jumlah kematian tinggi,” ungkap Anjela.

“Banyak sekali para pekerja kesehatan dan anggota keluarga yang meninggal akibat COVID-19, jumlahnya terus meningkat. Situasi seperti ini dipengaruhi capaian vaksinasi yang belum tercapai. Ini karena ada monopoli perusahaan farmasi, hanya 2 persen vaksin saja untuk negara miskin.”

Senada dengan Anjela, Leena Menghaney dari Medicines Sans Frontier mengatakan, dominasi perusahaan farmasi yang terjadi rata-rata di negara-negara maju bagian utara.

“Ketidaksetaraan vaksin bukan hanya soal dosis vaksin, tapi ini terjadi karena kapasitas manufaktur, yang didominasi oleh korporasi farmasi, terutama (negara) di bagian utara,” sambung Leena. 

Melihat realitas tersebut, lanjut Anjela, pada dasarnya vaksin COVID-19 belum tersedia bagi seluruh negara, yang mana akses terhadap vaksin tidak begitu merata. Ia meminta pengiriman vaksin COVID-19 secara merata hingga pertengahan tahun 2022. Selain itu, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk akses pemerataan vaksin.

“Secara fundamental, kita bisa memastikan untuk meningkatkan manufaktur vaksin demi memastikan peningkatan kapasitas. Kita melakukan juga untuk mengurangi kerumitan dalam distribusi vaksin. dan utk meningkatkan teknologi vaksin,” kata Anjela yang juga perwakilan People’s Vaccine Alliance.

“Vaksin pun harus diberikan kepada pemerintah dengan harga semurah mungkin dan diberikan kepada semua orang di manapun mereka berada. Ini yang kita dari pandemi, bahwa kita perlu memiliki sistem investasi yang berkelanjutan pada sistem kesehatan.”


Membatasi Persediaan Vaksin COVID-19

Seorang perempuan parkir di dekat tanda vaksin COVID-19 ketika dirinya tiba di apotek Rite Aid, di Nashua, New Hampshire pada 7 Desember 2021. Ketika AS mencapai tonggak sejarah dengan sekitar 200 juta orang telah divaksinasi penuh, infeksi dan rawat inap justru melonjak. (AP Photo/Steven Senne)

Tantangan yang berkaitan dengan suplai sebagaimana yang dibahas dalam proposal TRIPS Waiver, dampak dari adanya kontrol penuh perusahaan farmasi, mereka bisa memutuskan siapa yang bisa memproduksi dan mendapatkan akses untuk vaksin.

“Secara fundamental, ini membatasi persediaan vaksin dan negara dengan pendapatan tinggi, mereka bisa menimbun (vaksin). Negara-negara berpenghasilan tinggi, mereka menolak untuk memberikan kontrol terhadap teknologi yang sudah mereka biayai,” Leena Menghaney menambahkan.

“Contohnya, suplai vaksin COVID-19 kepada COVID-19 Vaccines Global Access (COVAX) dari India. COVAX bergantung dengan India di awal tahun 2021. Kami diskusi multilateral dengan perusahaan farmasi dan harus membayar biaya (vaksin) yang sangat besar pada saat itu. Sayangnya, tidak begitu memenuhi kebutuhan dari negara-negara berpenghasilan rendah dan kita tidak bisa bergantung sepenuhnya kepada donasi.”

Tatkala India diterjang gelombang COVID-19 varian Delta, masalah vaksin COVID-19 sangat krusial. India terkena dampak serius dari gelombang varian Delta, sehingga vaksin yang masuk ke COVAX terkendala. Dari pembelajaran ini, dunia perlu melakukan keanekaragaman manufaktur dan memastikan siap untuk memproduksi vaksin dalam situasi darurat kesehatan. 

Data yang dihimpun Lutfiyah Hanim, COVAX menjanjikan pengiriman vaksin COVID-19 sebanyak 20 persen dari jumlah penduduk di negara berkembang atau sekitar 2 miliar dosis bisa dikirimkan pada Desember 2021. Namun, rupanya belum seluruhnya vaksin dikirim sesuai jumlah yang dijanjikan.

“Data bulan Maret tahun 2022 yang berasal dari Unicef. Unicef merupakan salah satu organisasi untuk delivery (vaksin) di COVAX. Terlihat pada Data Vaccine Dashboard Market, vaksin yang dikirimkan COVAX sejauh ini masih 1,36 miliar dosis dari 2 miliar dosis yang dijanjikan pada bulan Desember 2021,” jelasnya.

“Artinya, ini (vaksin) memang masih banyak sekali yang masih kurang, sehingga apa yang dilakukan COVAX masih banyak kekurangannya.”

Pada tahun 2021, negara-negara maju banyak menimbun vaksin COVID. Contohnya, Uni Eropa membeli  vaksin lebih dari yang dibutuhkan menjadi 5,5 dosis untuk setiap orang, Kanada ada 9,62 dosis per orang, dan Jepang 2,3 dosis per orang. Sementara Afrika yang terdiri atas banyak negara hanya memastikan 0,2 dosis untuk setiap orang.

“Artinya, (vaksin) jauh dari yang diperlukan (di Afrika), sedangkan negara maju yang juga negara anggota G20 banyak membeli (vaksin COVID-19) lebih dari yang diperlukan,” ungkap Hanim.


Menentang Proposal TRIPS Waiver

Pekerja medis menerima vaksin COVID-19 Pfizer di Fujita Health University Hospital, Toyoake, Rabu (1/12/2021). Jepang mulai memberikan suntikan booster COVID-19 kepada petugas kesehatan di tengah kekhawatiran atas varian omicron yang telah terdeteksi di negara itu. (Mizuki Ikari/Kyodo News via AP)

Di balik pengajuan proposal TRIPS Waiver, Lutfiyah Hanim menerangkan, negara-negara, tidak hanya negara-negara sponsor, melainkan semua negara yang memiliki kemampuan manufaktur atau lokal produksi berkaitan vaksin, obat atau APD bisa memproduksi secara cukup. 

Pun alat-alat kesehatan lain yang terkait dengan COVID-19, mereka bisa mempunyai jumlah yang cukup untuk menangani kasus COVID-19 di dalam negeri masing-masing. Hampir dua tahun perundingan TRIPS Waiver ini masih berjalan.

“Negara-negara maju dan Uni Eropa termasuk negara-negara yang menjadi anggota G20 justru adalah penentang utama dari proposal ini. Uni Eropa telah menjanjikan komitmen sejak awal pandemi dua tahun yang lalu pada bulan Maret. Mereka menjanjikan banyak hal, tetapi yang terjadi adalah janji itu tidak ditepati,” terang Hanim yang juga Representative of Civil - 20 WG Vaccine Access and Global Health.

“Pada bulan Maret 2022 juga masih sekitar 75 negara dengan cakupan vaksinasi kurang dari 50 persen dan banyak negara juga di bawah 10 persen. Setelah dua tahun pandemi, masih banyak ke negara-negara yang kesulitan untuk mencapai vaksinasi dosis pertama.”

Negara-negara penentang TRIPS Waiver berpendapat bahwa perjanjian TRIPS telah memberikan fleksibilitas yang memungkinkan negara-negara untuk mengeluarkan lisensi perihal memproduksi, mengekspor atau mengimpor yang diperlukan dalam penanganan COVID-19.  

Sementara itu, para pendukung TRIPS Waiver berpandangan, situasi pandemi merupakan “keadaan luar biasa” dan perlindungan hak paten dapat menghalangi atau berpotensi menghalangi penyediaan produk-produk medis yang terjangkau secara tepat waktu.

Pada rangkaian acara G20 Indonesia, Hanim meminta negara-negara G20 mendukung persetujuan TRIPS Waiver di Forum WTO. Pemerintah Indonesia telah menyampaikan seruan serupa di Forum G20. 

Namun, negara-negara lain mengatakan bahwa seruan untuk mendukung TRIPS Waiver harus ke WTO, bukan pada Forum G20. Artinya, jika negara lain mendukung, maka mereka harus menyuarakannya di WTO. 

“Tentu kami memahami bahwa ini bukan Forum WTO, tetapi jika mereka memiliki political will, mereka bisa melakukan komitmen di G20 dan terutama di WTO. mereka juga bisa sharing teknologi. Kalau tidak mau, mereka bisa mendonasikan untuk mendukung pembiayaan,” pungkas Hanim.

“Yang masih kurang dari G20 adalah mereka hanya menyampaikan di paper saja sebagai komitmen. Efeknya, dalam hal implementasi belum optimal. Mereka ingin mendonasikan vaksin tapi tidak cukup, sehingga banyak negara yang tidak punya vaksin”

Yang bisa terjadi juga negara mendukung keuangan, tapi masih jauh dari harapan. Tak ayal, negara menuju multilateral development bank untuk mendapatkan pinjaman dana supaya bisa membeli vaksin. Ada juga beberapa negara berutang kepada World Bank dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mendapatkan vaksin karena vaksin dari COVAX terlalu lama ditunggu dan donasi tidak ada.


Perluas Lisensi Penggunaan Vaksin COVID-19

Petugas medis mewawancara orang tua sebelum memberikan vaksin kepada anak-anak mereka di Selestat, Selasa (21/12/2021). Prancis meningkatkan upaya vaksinasi di tengah infeksi yang berkembang pesat oleh varian omicron, terutama bagi anak di bawah 12 tahun. (AP Photo/Jean-Francois Badias)

Di masa pandemi COVID-19, Leena Menghaney menekankan, vaksin dan obat-obatan merupakan tantangan tersendiri untuk diperoleh. Tantangan utamanya dari lisensi yang berkaitan TRIPS Waiver dan harga.

“Tantangan yang kita hadapi adalah lisensi dan harga. Saya ingin memperlihatkan   negara-negara G20 untuk sadar, bahwa ini menjadi penting melihat kita posisi G20  di TRIPS Waiver,” jelas Leena yang juga perwakilan Third World Network/Global Fund Advocates Network Asia-Pacific (GFAN-AP).

“Saya ingin meminta Indonesia–sebagai tuan rumah Presidensi G20–untuk  memastikan bahwa bisa meyakinkan negara G20 lain untuk memperluas lisensi penggunaan vaksin.  Kita juga punya  negara-negara G20 yang menentang TRIPS Waiver, termasuk Prancis, Jerman, Inggris, Jepang, dan Korea Selatan.”

Lebih lanjut, Leena mengatakan, penting bagi kita memastikan posisi di G20, yakni bagaimana posisi kita terhadap TRIPS Waiver selama pandemi. Dari asesmen, ada beberapa rekomendasi yang menurutnya bisa menjadi pertimbangan bersama.

“Pertama, kita perlu memiliki akses setara. Ini merupakan prinsip yang sangat penting dan perlu kita teruskan dalam diskusi G20. Untuk negara-negara berpenghasilan tinggi dapat mengambil langkah lebih banyak ya untuk memastikan pemerataan akses vaksin, imbuhnya.

“Kita juga perlu terus memberikan support ke TRIPS Waiver untuk memberikan solusi otomatis menghadapi tantangan-tantangan demi memastikan tersedianya produk-produk medis selama masa pandemi.” 

Adanya Presidensi G20, terang Anjela Taneja, diharapkan Indonesia gencar menyuarakan suara-suara ketidaksetaraan akses vaksin COVID-19. Kepada Presiden Jokowi, penting menyatakan kebutuhan distribusi vaksin yang merata.

“Indonesia juga sudah punya kapasitas distribusi vaksin yang cukup baik dan untuk memproduksi vaksin. Oleh sebab itu, kami mendesak pemerintah Indonesia melakukan hal yang lebih banyak lagi untuk menyampaikan suara-suara demi menghadapi kesulitan-kesulitan selama pandemi. Kita harus mulai bergerak sekarang dan kita memerlukan kepemimpinan dari pemimpin di Indonesia,” pungkasnya.

Di sisi lain, negara-negara G20 perlu melakukan persiapan, bukan pada saat darurat ketika angka COVID-19 sangat tinggi.

“Kita perlu melakukan refleksi dalam negosiasi-negosiasi negara dan saya rasa G20 termasuk Indonesia bisa berperan membantu memfasilitasi ini,” tutup Leena.


Infografis Saran WHO kepada Negara-Negara di Dunia

Infografis Saran WHO kepada Negara-Negara di Dunia. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya