Liputan6.com, Jakarta Penggunaan Alat Bantu Dengar (ABD) bagi Penyandang Disabilitas Tuli sangat penting. Sayangnya, alat bantu yang diproduksi hingga kini hanya bisa memenuhi sebanyak 10 persen dari kebutuhan global.
Kementerian Kesehatan mencatat, ABD saat ini hanya memenuhi sebesar 3 persen dari kebutuhan pasien di negara berkembang. Padahal, data Sistem Informasi Manajemen Penyandang Disabilitas 2019 menyebutkan, sebesar 7 persen dari penyandang disabilitas di Indonesia merupakan Tuli.
Advertisement
“Sementara prevalensi global gangguan pendengaran tingkat sedang hingga berat, meningkat seiring bertambah luasnya usia sebesar 12,7 persen pada usia 60 tahun. Lebih dari 58 persen bila usia 90 tahun,” kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonowu, dikutip Antaranews, Selasa (14/3/2022).
Ketua KOMNAS Komite Pusat Penanggulangan Gangguan Pendengaran & Ketulian (PGPKT) Dr. Damayanti Soetjipto, Sp.THT mengatakan, sejauh ini juga tidak ada ABD khusus yang berkualitas sehingga banyak penyandang Tuli harus membayar lebih mahal di luar tanggungan BPJS Kesehatan.
“Anak Tuli tidak bisa pakai ABD dari BPJS karena yang bagus minimal harganya Rp 4 juta dan BPJS hanya menanggung sekitar Rp 1 juta,” katanya dalam Advocacy Webinar (World Hearing Day 2022), ditulis Selasa (15/3/2022).
dr Damayanti mengatakan, bayi lahir Tuli ataupun lansia sangat membutuhkan ABD. "Lansia itu penginnya yang kecil di dalem yang nggak keliatan. Dan harusnya noice canceling. Itu tambah mahal lagi. Jadi mereka bisa klaim BPJS Rp1 juta tapi sisanya bayar sendiri."
ABD mahal jadi tanggungan keluarga
Terkait ABD ini, Ketua PP Perhati-KL Prof Jenny Dr.dr.jenny Bashiruddin Sp.THT-KL (K) menyampaikan bahwa ia dan timnya melakukan Survei tingkat perilaku masyarakat terhadap gangguan pendengaran.
"Penyediaan dan biaya alat-alat untuk habilitasi/rehabilitas pendengaran cukup mahal sehingga menjadi tanggungan keluarga, Hal ini terlihat pada hasil survei (sementara) kesehatan masyarakat," katanya.
Prof Jenny juga menyampaikan, dalam studinya yang masih berjalan, sebagian besar penyandang Tuli hanya menerima manfaat ABD sebesar Rp 400 ribu dari Rp 1 juta yang seharusnya ditanggung BPJS.
"Seperti apa tu kualitasnya. Apakah dapat bermanfaat karena kualitas dari pemeriksaan seharga segitu," katanya.
Koordinator WHO CC INO-19 Dr. dr Ronny Suwento Sp.T.H.T.K.L.(K) dalam acara yang sama mengatakan, sistem ABD sudah salah sejak lama.
"ABD masuk ke Indonesia dipajakin. Kalau tongkat enggak. Tapi ABD dikategorikan alat elektronik jadi disamakan dengan Iphone. Selajutnya ABD tiap perusahan memiliki merk sendiri sehingga pasien biasanya langsung ditawarkan dari mereka," pungkasnya.
Advertisement