Liputan6.com, Jakarta - Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) memaparkan beberapa temuan masalah fundamental di lokasi ibu kota negara atau IKN Nusantara, Kalimantan Timur. Kepala Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Roni Septian menyatakan, temuan ini sekaligus membantah klaim pemerintah, lokasi ibu kota negara dan lahannya dikuasai negara.
"Lokasi IKN bukan lah tanah kosong, tanah yang menurut pemerintah dikuasai langsung pemerintah. Berdasarkan temuan kami, di lokasi IKN telah lama dikuasai petani, lokasi adat," seru Roni.
"Hal itu akan menggugurkan klaim pemerintah; lokasi IKN adalah tanah negara, tidak ada penguasaan masyarakat di atasnya. Itu pernyataan yang keliru," tegasnya.
Menurut dia, permasalahan IKN bukan saja pengadaan tanah dan proses pembangunan infrastruktur yang sangat luas. Masalah IKN juga termasuk problem ekonomi, sosial, agama, pendidikan, hingga kesehatan.
"Sehingga pemerintah tidak dapat melompat gitu saja tanpa melakukan reforma agraria terlebih dahulu," imbuh dia.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2018, ia menyebut, ada sekitar 9.000 petani yang menguasai lahan kurang dari 1 ha. Itu seakan terjadi ketimpangan dengan penguasaan lahan tambang seluas 5,2 juta ha. Belum lagi, ada 1,2 juta ha lahan kebun sawit di Kalimantan Timur.
"Jadi masalah yang sangat fundamental adalah penguasaan tanah. Pembangunan ibu kota negara akan sangat sia-sia. Belum lagi tumpang tindih klaim, yang sebabkan konflik agraria di sana," tuturnya.
Baca Juga
Advertisement
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Lahan Bisnis Basah
Lebih lanjut, Roni juga memunculkan dugaan, proyek pembangunan IKN Nusantara jadi proses pembukaan bisnis skala besar oleh para pengusaha gede Indonesia. Ini lantaran Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menunjuk Bambang Susantono dan Dhony Rahajoe sebagai Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN Nusantara.
Sebagai catatan, Bambang Susantono merupakan seorang Wakil Presiden Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB), serta Dhony Rahajoe selaku salah satu bos besar di Sinar Mas Land.
"Ini sudah menandakan IKN hanya proses pembukaan bisnis skala besar semata, bukan agenda kebangsaan seperti yang didengungkan pemerintah," ujar dia.
"Soal pemerataan ekonomi itu omong kosong. Soal cita-cita Soekarno membangun ibu kota di Kalimantan itu omong kosong. Hentikan segala romatisme itu. Pemindahan IKN adalah proses pembangunan bisnis skala besar oleh pengusaha-pengusaha Indonesia," singgungnya.
Menurut dia, pemilihan dua orang itu sejalan dengan kebutuhan biaya atas pembangunan ibu kota baru yang tak murah, mencapai sekitar Rp 500 triliun. Roni pun tak percaya APBN dan pajak bisa memenuhi kebutuhan tersebut.
"Untuk menjawab kebutuhan sumber dana, itu tentu dibutuhkan investor yang sangat banyak, sangat besar. Tidak mungkin kerja mencari investasi, meraih pinjaman, atau kerjasama pendanaan dengan swasta jika tidak dilakukan oleh orang yang ahli di dalamnya," tuturnya.
Advertisement
Konsesi Tambang
Bukti lain bahwa lahan IKN Nusantara bukan milik negara didapat dari banyaknya wilayah konsesi tambang dan kehutanan di sana. Mengutip data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), terdapat 162 konsesi tambang, kehutanan, perkebunan sawit, hingga PLTU batubara di atas wilayah IKN.
Sebanyak 149 konsesi diantaranya merupakan pertambangan batubara, baik yang berstatus Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Uli Arta Siagian, pun buka kemungkinan, lahan konsesi tambang dan kehutanan itu akan diambil alih untuk proyek pembangunan ibu kota baru. Sehingga itu akan terkena pemutihan, namun tidak dimintai pertanggungjawaban atas eksploitasi alam yang sudah dilakukan.
"Dalam proses pemindahan ibu kota terdapat ruang yang sangat lebar sekali untuk pemutihan aktivitas pertambangan dan izin kehutanan yang ada selama puluhan tahun," ungkapnya.
"Lubang tambang itu situs kejahatan yang tanggung jawabnya dilekatkan pada perusahaan dan negara. Artinya ada pengabaian tanggung jawab oleh pengurus negara dan pemegang izin," kritik dia.
Adapun merujuk data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), terdapat seluas 73.584 ha konsesi tambang batubara di wilayah IKN. Jatam mengklaim, setidaknya ada lebih dari 50 nama politikus terkait kepemilikan konsesi di lokasi IKN.
Dengan demikian, Uli menyimpulkan, dari sekian panjang eksploitasi ratusan izin di wilayah IKN, setidaknya banyak sekali telah timbulkan dampak negatif.
"Eksploitasi sebabkan krisis ekologis. Eksploitasi ini mengakibatkan bencana ekologis seperti longsor dan banjir. Yang menanggung semuanya adalah rakyat," ujar Uli.