Liputan6.com, Jakarta Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut lahan Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara bukan merupakan tanah milik negara.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede, menilai klaim dari KPA tersebut harus dipastikan, agar tidak menimbulkan potensi konflik agraria.
Advertisement
“Menurut saya, klaim dari KPA yang menyebutkan lahan IKN bukan merupakan lahan negara harus kembali dipastikan,” kata Josua kepada Liputan6.com, Selasa (15/3/2022).
Adapun dilihat dampak dari sisi ekonomi, jika memang lahan tersebut bukan milik negara, adalah kemungkinan meningkatnya biaya pembebasan lahan yang harus dilakukan.
Namun, klaim terhadap kepemilikan lahan ini harus benar-benar dipastikan, karena juga terdapat potensi spekulasi dari kepemilikan lahan ini. Sementara, dari sisi sosial ia menilai dampaknya juga harus diperhatikan.
“Jika memang banyak masyarakat yang bergantung aktivitas ekonominya di lahan IKN tersebut, maka pemerintah harus mencarikan jalan keluar untuk mengganti mata pencaharian mereka. Sebagai contoh, masyarakat setempat dapat dilibatkan sebagai pekerja konstruksi di IKN,” ujarnya.
Merujuk data Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), terdapat beberapa masalah fundamental di lokasi Ibu Kota Negara Nusantara, khususnya di Kalimantan Timur secara umum. Itu sekaligus membantah klaim pemerintah, lokasi ibu kota negara lahannya dikuasai negara.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Permasalahan IKN
Sebelumnya, Kepala Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Roni Septian menilai, permasalahan IKN bukan saja pengadaan tanah dan proses pembangunan infrastruktur yang sangat luas. Masalah IKN juga termasuk problem ekonomi, sosial, agama, pendidikan, hingga kesehatan.
"Sehingga pemerintah tidak dapat melompat gitu saja tanpa melakukan reforma agraria terlebih dahulu," imbuh dia.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2018, terdapat sekitar 9.000 petani yang menguasai lahan kurang dari 1 ha. Itu seakan terjadi ketimpangan dengan penguasaan lahan tambang seluas 5,2 juta ha. Belum lagi, ada 1,2 juta ha lahan kebun sawit di Kalimantan Timur.
"Jadi masalah yang sangat fundamental adalah penguasaan tanah. Pembangunan ibu kota negara akan sangat sia-sia. Belum lagi tumpang tindih klaim, yang sebabkan konflik agraria di sana," tuturnya.
Advertisement