Liputan6.com, Jakarta Tradisi pacuan kuda Bima atau pacoa jara kembali menelan korban jiwa. Seorang joki anak usia 6 meninggal dunia di Bima, Nusa Tenggara Barat setelah terjatuh dari punggung kuda yang ditungganginya saat latihan pada Rabu 9 Maret 2022.
Peristiwa ini bukan pertama kali terjadi, sebelumnya pernah ada joki yang meninggal pada 2019 bahkan beberapa joki cilik lainnya mengalami luka dan disabilitas.
Advertisement
Terkait hal ini, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan bahwa penggunaan joki anak dalam kegiatan tersebut sangat mengancam keselamatan jiwa.
“Saya berharap penggunaan joki anak di arena pacuan kuda dapat segera dihentikan karena ini adalah bentuk eksploitasi terhadap anak.”
“Saya mendorong Pemerintah Provinsi NTB, Pemerintah Kota Bima, pemilik kuda, pelatih, masyarakat sekitar dan orangtua joki cilik mencegah terjadinya eksploitasi pekerja anak dalam tradisi pacuan kuda,” tegas Menteri PPPA mengutip keterangan pers Rabu (16/3/2022).
Simak Video Berikut Ini
Sudah Menjadi Tradisi
Menurut keterangan KemenPPPA, korban melakukan latihan di arena pacuan kuda tradisional di Desa Panda, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Korban mengalami luka parah di bagian kepala, akibat terjatuh dari punggung kuda yang ditungganginya.
Penggunaan joki anak usia 6-18 di Bima sudah menjadi tradisi. Berat badan joki anak jauh lebih ringan daripada berat badan joki dewasa, sehingga mengurangi berat beban yang dibawa kuda pacuan. Hal ini otomatis membuat kuda pacuan dapat berlari lebih cepat.
Kuda yang berlari dengan kecepatan tinggi berisiko membuat anak terluka parah hingga meninggal jika terjatuh. Ditambah, joki anak berpacu tanpa menggunakan pelana sehingga sangat berbahaya.
Advertisement
Bukan Hanya Masalah Tradisi
Pacuan kuda bukan hanya tentang masalah tradisi, tapi juga berkenaan dengan isi dari pasal 32 di dalam Konvensi Hak Anak (KHA).
Konvensi tersebut mengatakan bahwa anak harus dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan seksual serta semua bentuk pekerjaan yang membahayakan. Juga yang memengaruhi pendidikan atau berdampak buruk terhadap perkembangan kesehatan anak baik fisik, mental, spiritual, moral maupun sosial.
Selain unsur pemerintah, Bintang juga mendorong Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perlindungan anak, Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PORDASI), tokoh agama, budayawan, dan akademisi untuk dapat mengedukasi masyarakat tentang aspek perlindungan anak.
Termasuk tentang instrumen kebijakan hukum terkait perlindungan anak, bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak, kaitan dengan eksploitasi ekonomi pada anak, serta pemetaan masalah eksploitasi anak pada pengembangan minat dan bakat anak.
“KemenPPPA melalui Dinas PPPA Kabupaten Bima telah melakukan koordinasi dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Bima terkait peristiwa dimaksud dan telah dilakukan penjangkauan kepada keluarga korban” jelas Menteri PPPA.
Kemen PPPA juga mendorong agar Aparat Penegak Hukum (APH) dapat menerapkan hukuman sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaku eksploitasi anak dalam pacuan kuda dapat dijerat dengan Pasal 76 I jo Pasal 88, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ancamannya yakni hukuman penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta.
Infografis 5 Tips Pakai Masker Cegah COVID-19 untuk Anak
Advertisement