Pengusaha: Indonesia Anggota G20, Masa Pakai Minyak Goreng Curah

Pengusaha minta pemerintah melarang minyak goreng curah di pasaran.

oleh Tira Santia diperbarui 16 Mar 2022, 16:30 WIB
Salah satu penjual minyak Goreng curah di pasar tradisional Foto: Antara (Arfandi/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, menyarankan agar kedepannya Pemerintah tidak membolehkan minyak goreng curah dijual di pasaran.

Diketahui, mulai hari ini 16 Maret 2022, Pemerintah resmi mengizinkan penjualan minyak goreng curah dengan Harga Eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 14.000.

“Ini emergency saja. Ke depannya, tidak boleh lagi, masa negara Indonesia sudah masuk G20 negara maju dari ribuan negara, masa Indonesia masih pakai curah. Curah itu hanya ada di negara miskin, di Bangladesh, dan beberapa  Negara Afrika, masa kita begitu,” kata Sahat kepada Liputan6.com, Rabu (16/3/2022).

Sahat menegaskan, sebenarnya dari asosiasi berkeinginan supaya minyak goreng curah ditiadakan, alasannya dua yaitu agar masyarakat menerima minyak sawit yang higienis, asalnya jelas, serta sehat. Kedua, terjamin halal.

“Karena di lapangan banyak minyak curah yang tidak jelas sumbernya darimana, bahkan ketika diselidiki banyak dari minyak jelantah (minyak goreng bekas). Minyak jelantah itu bisa berasal dari pecenongan dan bisa bercampur dengan apa saja sehingga tidak halal,” katanya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Produksi Minyak Goreng

Pedagang menunjukkan minyak goreng curah di pasar tradisional, Pondok Labu, Jakarta, Rabu (2/2/2022). Pemerintah menetapkan HET sebesar Rp 11.500 per liter untuk minyak goreng curah, Rp 13.500 untuk minyak goreng sederhana, dan Rp 14.000 untuk minyak goreng premium. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Asosiasi pun tak menampik, saat ini pihaknya tidak mampu untuk memproduksi banyak kemasan minyak goreng. Sehingga dengan minyak goreng yang langka ini diteruskan dengan minyak goreng curah.

“Tapi kalau dilihat dari konsep kebijakan pemerintah ini ada pesan tersembunyi supaya produsen itu membuat kemasan. Karena kemasan itu dibebaskan harga berapa saja terserah, ada semacam hidden agenda,” ungkapnya.

Oleh karena itu, untuk keadaan darurat, GIMNI menyetujui dan mendukung kebijakan tersebut. Pasalnya, jika tidak setuju maka masyarakat tidak akan mendapat minyak goreng, karena kapasitas mesin untuk kemasan itu kurang.

“Sekarang yang ada kemampuan kemasan kira-kira 121 juta liter per bulan, padahal kita perlu 351 juta untuk seluruh kemasan, jadi kurang,” ujarnya.

Apalagi sudah mulai mendekati puasa dan lebaran, dipastikan kebutuhan masyarakat terkait minyak goreng akan meningkat. Menurutnya, daripada nanti timbul unjuk rasa dari masyarakat karena susah mendapatkan minyak goreng, maka dia menilai langkah ini cukup baik. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya