Liputan6.com, Jakarta - Dari warna pakaian dalam, hingga panjang kaus kaki, sekolah-sekolah di Jepang terkenal memiliki aturan ketat dalam berbusana. Baru-baru ini, sebuah laporan tentang pelarangan kuncir kuda di sekolah-sekolah Jepang karena dapat "menggairahkan seksual" siswa laki-laki telah memicu percakapan baru tentang aturan aneh pada siswa perempuan.
VICE World News, seperti dikutip Rabu (16/3/2022), berbicara pada mantan guru sekolah menengah Motoki Sugiyama tentang topik tersebut. Sugiyama mengungkap ia pernah diberitahu administrator sekolah bahwa siswa perempuan tidak boleh menata rambut jadi kuncir kuda karena memperlihatkan tengkuk mereka.
"Mereka khawatir anak laki-laki akan melihat anak perempuan, yang mirip dengan alasan di balik penegakan aturan warna pakaian dalam putih saja," kata Sugiyama.
Baca Juga
Advertisement
Mantan guru dengan pengalaman mengajar 11 tahun ini, Says mencatat, menjelaskan bahwa tujuan aturan pakaian dalam yang hanya berwarna putih adalah mencegah potongan busana itu terlihat dari balik seragam. "Saya selalu mengkritik aturan ini, tapi karena kurangnya kritik dan itu jadi sangat normal, siswa tidak punya pilihan selain menerimanya," katanya.
Tidak ada statistik nasional tentang berapa banyak sekolah yang masih memberlakukan aturan tanpa kuncir kuda bagi siswa perempuan. Namun, survei tahun 2020 menemukan bahwa sekitar 10 persen sekolah di prefektur selatan Fukuoka melarang gaya rambut tersebut. Sugiyama mengatakan, kelima sekolah berbeda yang ia ajar di prefektur Shizuoka, yang berjarak sekitar 144 km barat daya Tokyo, memiliki larangan menguncir rambut pada siswa perempuan.
New York Post melaporkan, Sugiyama secara teratur mengunggah "aturan sewenang-wenang" di TikTok-nya. Ia punya misi pribadi untuk menyudahi aturan sekolah yang sudah ketinggalan zaman, seksis, atau menghambat ekspresi diri seorang anak.
Sejarah buraku kosoku sendiri dimulai pada 1870-an ketika pemerintah Jepang menetapkan peraturan pendidikan pertama yang sistematis. Sekitar tahun 1970-an dan 1980-an, aturan jadi lebih ketat dalam upaya mengurangi perundungan dan kekerasan di sekolah.
Profesor sosiologi Meiji University, Asao Naito, mengatakan apa yang dilarang berbeda dari sekolah ke sekolah dan dari generasi ke generasi. Namun, efek yang dimaksudkan untuk membuat siswa tidak menonjol tetap sama.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Aturan-Aturan Lain
Kritikus buraku kosoku juga mengatakan aturan-aturan itu memberi kesan pada para siswa bahwa tubuh mereka adalah subjek di hadapan kebijakan. "Seksualitas bukan sesuatu yang jadi milik individu, tapi item atau hal yang bisa dikendalikan," bantah Naito.
Selain rambut ditata kuncir kuda dan pakaian dalam, kebijakan sekolah juga mengatur bahwa rambut siswa harus hitam dan lurus. Pada 2017, seorang siswa di Osaka menggugat sekolahnya karena memaksa mewarnai rambutnya jadi hitam, meski cokelat adalah warna alami rambutnya.
Advertisement
Perubahan Aturan
Kabar terbarunya, seperti diaporkan Guardian, aturan kontroversial tentang gaya rambut dan pakaian dalam akan dihapus di sekolah menengah yang dikelola pemerintah metropolitan Tokyo. Ini diambil setelah pihaknya mendapat tekanan dari siswa.
Hampir 200 sekolah menengah umum dan lembaga pendidikan lain akan mencabut lima peraturan mulai bulan depan. Ini termasuk mengharuskan siswa berambut hitam, lapor Mainichi Shimbun.
Surat kabar itu mengatakan, aturan yang menentukan warna pakaian dalam siswa dan larangan gaya rambut "dua blok," pendek di belakang dan samping dan lebih panjang di atas, juga akan dibatalkan.
Survei 240 Sekolah
Langkah ini dilakukan setelah survei yang dilakukan tahun lalu terhadap 240 sekolah di Tokyo. Studi itu menemukan bahwa 216 peraturan yang dipertahankan sudah ketinggalan zaman.
Namun, beberapa aturan akan tetap berlaku di sekolah tertentu. Sementara beberapa akan menghapus persyaratan bagi siswa untuk menunjukkan bukti bahwa rambut mereka secara alami keriting atau berwarna selain hitam.
Yuto Kitamura, anggota dewan pendidikan metropolitan Tokyo, mengatakan keputusan untuk menghapus peraturan yang paling mengerikan adalah "langkah maju yang besar," menurut Mainichi.
Advertisement