Liputan6.com, Yogyakarta - Pada zaman Majapahit, pendidikan agama memegang peranan cukup penting. Pendidikan agama pada masa kerajaan biasanya dilakukan secara perorangan maupun mengikuti lembaga agama yang disebut Mandala atau Kadewaguruan.
Dikutip dari berbagai sumber, letak sekolah agama atau Kadewaguruan jauh dari permukiman atau kota, terletak di tempat yang sunyi di hutan-hutan, di puncak bukit, di lereng gunung, di tepi pantai, dan sebagainya. Lokasi itu lazimnya merupakan sebuah kompleks perumahan para petapa, dengan tatanan secara khusus.
Lembaga ini dipimpin oleh seorang maharesi yang disebut pula siddharesi atau dewaguru, oleh karena itu pusat pendidikan ini disebut Kadewaguruan. Kadewaguruan merupakan kompleks petapa yang dirancang khusus.
Baca Juga
Advertisement
Dewaguru akan bertempat tinggal di tengah-tengah kompleks yang disebut tapowana atau pajaran. Kemudian dikelilingi rumah murid-murid bedasarkan tingkat pengetahuan mereka.
Karena tata letak seperti ini, kompleks perumahan pertapa itu disebut Mandala (konfigurasi lingkaran). Sementara itu para murid yang masih pemula disebut kaki, tapaswi (laki-laki) dan, endang atau tapi, untuk perempuan disebut kili (perempuan).
Mandala Kadewaguruan sebenarnnya telah muncul pada zaman Singasari berdasarkan catatan dalam kitab Rajapatiguṇḍala. Raja yang disebut adalah Raja Bhatati yang diperkirakan sebutan Raja Keṛtanegara.
Jumlah Kadewaguruan di Majapahit semakin banyak sejak pemerintahan raja Hayam Wuruk (1350-1389). Dalam naskah Nagarakertagama, Hayam Wuruk diceritakan pernah mendatangi sebuah Mandala yang berada di sebuah hutan bernama Wanasrama Sagara.
Mengenai sistem ajaran Kedewaguruan tidak ditemukan dalam Rajapatiguṇḍala, Nagarakeṛtagama, maupun dalam sumber tertulis lainnya. Tetapi sejak zaman Raja Siṇḍok (abad 10), telah disusun buku-buku keagamaan yang bersifat agama Siwa yang disebut Tutur.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Filsafat dan Pengetahuan Keagamaan
Kitab-kitab ini banyak membicarakan filsafat dan pengetahuan keagamaan tentang Kehampaan (Sunya), sebuah konsep-konsep realitas tertinggi yang disebut Bhattara, tetapi tidak banyak membicarakan tata upacara keagamaan.
Dalam kitab Tutur, Sunya disebut dengan berbagai nama, antara lain Paramasiwa, Parameswara, Mahadewa, Siwa, dan dipersamakan dengan suku kata abstrak OM. Sementara itu, Paramasiwa adalah dewa tertinggi yang digambarkan dalam Tutur Bhuwanakosa dan Wṛhaspatitattwa.
Kitab-kitab Tutur memiliki uraian singkat dan ajaran para guru agama yang diturunkan dari generasi ke generasi. Melihat isi ajarannya, kemungkinan kitab Tutur ini adalah bahan bagi mereka yang sudah mempunyai dasar pengetahuan agama dan bukan untuk pemula.
Pada beberapa akhir bab kitab Tutur, dikatakan bahwa ajaran Tutur ini bersifat rahasia, tidak boleh diajarkan secara sembarangan (rahasya temen, larangan temen). Oleh karena kerahasiaannya ini, tidak mudah untuk mengetahui berbagai ajaran di Kedewaguruan.
Ada dua tahap dalam ajaran Kedewaguruan. Tahap pertama adalah persiapan, yakni seorang murid harus menjalani tahapan tata susila dan tata upacara.
Tata susila adalah ajaran berkenaan dengan sikap hidup yang baik, yaitu pararthayang berarti memikirkan kebahagiaan orang lain daripada kebahagiaan diri sendiri, dan apabila berpegang teguh pada kasatyan (kebenaran) maka keberhasilan akan tercapai.
Setelah tata susila kemudian akan dipelajari mengenai tata upacara yaitu membersihkan jasmani dan rohani murid, yaitu dengan mengembangkan parartha dan parahita, menghilangkan kejahatan (hala), dan menciptakan kebaikan (hayu) di dalam pikiran.
Ketika murid telah menyelesaikan tahap persiapan, maka mereka telah siap untuk menerima ajaran inti, yang mencakup filsafat dan ilmu, antara lain, pasa belenggu yang menghalangi jiwa manusia untuk mencapai kalepasan atau moksa.
Penulis: Tifani
Advertisement