Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai, perubahan kebijakan pemerintah terkait minyak goreng merupakan bukti tidak efektifnya aturan sebelumnya yang sudah dibuat. kebijakan tersebut adalah kewajiban Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).
Saat ini, pemerintah mengembalikan harga minyak goreng ke mekanisme pasar. Artinya, dengan mengikuti harga acuan internasional, harga minyak goreng kemasan dipastikan akan melambung.
Dengan demikian pemerintah tak lagi memberlakukan Harga Eceran Tertinggi (HET) bagi minyak goreng kemasan premium. Sementara, harga minyak goreng curah dipatok Rp 14.000 per liter.
“Ketika HET itu diberlakukan, minimarket itu banjir orderan, ini jadi alasan pengusaha untuk tidak menjual (minyak goreng) karena di satu sisi ada HET tapi harga input-nya tinggi, ini mengartikan kebijakan DMO-DPO belum efektif,” katanya kepada Liputan6.com, Kamis (17/3/2022).
Ia menekankan, sebagai evaluasi dari penerapan kebijakan DMO-DPO yang ditetapkan, seharusnya pemerintah mampu melakukan pengawasan lebih ketat. Ia pun menilai kebijakan ini masih membutuhkan waktu agar berjalan secara efektif.
“ini menunjukkan pemerintah menganggap DMO-DPO itu tidak efektif, kalau saya pribadi harusnya pengawasannya benar, implementasinya benar. DMO-DPO itu perlu waktu setidaknya sampai April, DMO di Februari itu baru diproses, baru masuk pasar sekitar akhir Maret, jadi ketika dirubah itu kita tak bisa melihat efektivitas, pemerintah terlalu buru-buru,” tuturnya.
Baca Juga
Advertisement
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Transparansi dan Pengawasan
Lebih lanjut, Rusli menekankan, pasca adanya kebijakan baru ini, pemerintah harus bisa melakukan pengawasan yang lebih ketat. Misalnya dengan melakukan transparansi terkait klaim subsidi.
“Jangan sampai produsen minyak goreng di hulu itu sebetulnya memproduksi 5 tapi mengklaim 7, jadi yang dua sisanya itu dalam tanda kutip ibarat korupsi oleh pengusaha, ini harus dipastikan dan diatur dari sananya dulu,” katanya.
“Klaimnya ini harus transparan dan tepat sasaran, tepat jumlahnya, baru ke hilirnya dilakukan pengetatan pengawasan dan sebagainya,” imbuh dia.
Ia menekankan, pengawasan yang dilakukan pemerintah ini termasuk dalam bagian distribusinya. Khawatirnya, pendistribusian bisa salah arah dan tidak sampai ke masyarakat.
“Dalam artian misalnya distribusi yang harusnya ke pasar A tapi malah masuk ke gudang untuk diambil stoknya sebagian,” katanya.
Advertisement