Liputan6.com, Jakarta Kalangan ibu rumah tangga dibuat heran dengan tersedianya minyak goreng kemasan di sejumlah ritel modern per Kamis (17/3) lalu. Melimpahnya stok tersebut bertepatan dengan pencabutan kebijakan pemerintah yang menetapkan harga minyak goreng satu harga.
Padahal beberapa hari sebelumnya keberadaan minyak goreng kemasan maupun minyak goreng curah masih sulit ditemukan. Kalaupun ada, dibandrol harga diatas harga eceran tertinggi (HET) di pasar tradisional.
Advertisement
Ekonom INDEF, Eko Listyanto menilai kondisi ini terjadi akibat ketidakmampuan pemerintah menerapkan kebijakan kewajiban pasar domestik (DMO) dan penetapan HET. Menurutnya dua kebijakan ini memang penuh risiko dan membutuhkan modal yang besar.
"Kebijakan ini ternyata hanya bertahan 2 bulan, karena kebijakan ini butuh amunisi di price selling dan pengawasan. Kalau salah satunya tidak ada jadi berantakan," kata Eko saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Jumat (18/3).
Menurutnya apapun jenis barang atau komoditas yang harganya diatur pemerintah dalam kondisi serupa akan berakhir sama. Menyebabkan kelangkaan lantaran produsen maupun pedagang yang memegang kendali barang. Bila pemerintah menetapkan harga di tingkat masyarakat, maka produsen dan pedagang harus bisa menjual harga dibawah ketentuan tersebut.
"Produsen atau pedagang harus menjual harga dibawah market dan maunya pemerintah ini tetap di Rp 14 ribu per liter, jadi silakan ini ditombok," kata dia.
Apalagi proses klaim yang dijanjikan pemerintah atas selisih harga dengan pasar dunia tidak mudah. Sehingga membuat munculnya perang dingin antara pemerintah dan para pemain di tata niaga minyak goreng.
Terlebih saat ini mendekati momentum bulan Ramadan dan lebaran Idulfitri yang tingkat konsumsi masyarakat akan minyak goreng meningkat.
Dia meyakini kelangkaan yang terjadi kemarin memang sengaja ditimbun sebagai aksi protes para pemain minyak goreng atas kebijakan pemerintah.
"Karena proses klaim yang tidak mudah, mereka jadi berpikir baiknya ditahan dan melihat seberapa kuat (pemerintah). Ini juga mau masuk Ramadan. Jadi dari kalkulasi ini memang ditimbun. Apalagi seluas Indonesia ini susah juga mengejarnya," tutur Eko.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kebijakan DMO Harusnya Cukup Memenuhi Kebutuhan Pasar Domestik
Eko menilai kebijakan DMO minyak goreng sebenarnya sudah menjadi solusi untuk menjamin tersedianya minyak goreng di pasar domestik. Hanya saja, seharusnya dibarengi dengan pengawasan yang ketat dari pemerintah. Sehingga eksportir tidak tergoda mengekspor semua CPO keluar negeri.
"Tapi kebijakan ini harus diawasi, kalau harga internasional naik terus, pengusaha bisa tergoda dan menjualnya ke luar negeri," kata dia.
Sayangnya kontrol dari pemerintah terkait rantai distribusi CPO hasil DMO ini kurang. Akibatnya, muncul dugaan hasil DMO tetap rembes keluar negeri atau masuk ke industri lagi. Mengingat CPO ini juga dibutuhkan untuk industri selain minyak goreng, seperti sabun dan yang lainnya.
"Negara memaksa pengusaha tapi tidak ada pengawasan yang ketat," kata dia.
Padahal, kebutuhan dalam negeri tidak ikut meningkat sekalipun harganya di pasar dunia naik. Peningkatan kebutuhan CPO hanya terjadi jika produksi B30 ditingkatkan. Apalagi penjualan CPO untuk bahan baku biodiesel mendapatkan subsidi dari pemerintah.
"Memang ada B30 ini juga jadi isu, kalau ini dinaikkan, maka akan menambah demand CPO. Jadi dari DMO ini nanti lebih banyak dijual untuk biodiesel karena mendapatkan subsidi daripada minyak goreng tidak (dapat subsidi)," kata dia mengakhiri.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement