Liputan6.com, Jakarta Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengaku tidak berdaya berhadapan dengan para penimbun minyak goreng yang berakibat kelangkaan. Alasannya, Kementerian Perdagangan tidak memiliki kewenangan untuk menindak tegas para penimbun.
"Menghadapi penjahat nakal itu diluar kewenangan Kemendag," ungkap Luthfi saat rapat bersama Komisi VI DPR-RI, Kamis (18/3).
Advertisement
Ekonom INDEF, Eko Listyanto mengatakan seharusnya Pemerintah bisa mengendalikan situasi. Membuat harga minyak goreng dalam negeri tetap stabil di tengah melonjaknya harga minyak dunia.
Seperti yang dilakukan Uni Emirat Arab yang tidak bermasalah ketika harga minyak dunia melonjak. Kebutuhan dalam negeri tetap terpenuhi tanpa mengganggu ekspor minyak buminya.
"Di negara Timur Tengah gejolak harga minyak dunia tidak membuat mereka bermasalah dengan kebutuhan domestik karena mereka (pemerintah setempat) yang mengaturnya sendiri," kata Eko saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Jumat (18/3).
Kondisi berbeda justru tidak terjadi di Tanah Air sekalipun produksi sawit di Indonesia yang melimpah dan menjadi terbesar di dunia. Kebijakan penetapan kewajiban pasar domestik (DMO) dan penetapan harga eceran tertinggi (HET) dinilai sudah cukup untuk menjaga pasokan kebutuhan dalam negeri.
Hanya saja, pada pelaksanaanya pemerintah kewalahan dengan aksi para pemain di tata niaga minyak goreng. Aksi protes halus yang dilakukan para spekulan menghasilkan kelangkaan minyak goreng dipasaran.
"Negara tidak boleh kalah, bagaimanapun kebijakan harus tetap diupayakan. Harganya tetap harus stabil," kata Eko.
Memang, diakui Eko, HET yang ditetapkan pemerintah yakni Rp 14.000 per liter untuk minyak goreng kemasan sangat rendah jika dibandingkan dengan harga minyak di pasar global yang terus merangkak naik.
Di sisi lain, penetapan kebijakan DMO 20 persen yang kemudian dinaikkan menjadi 30 persen ini masih banyak kealpaan. Eko menduga kebijakan DMO kurang diawasi pemerintah sehingga CPO dari hasil DMO tidak diketahui keberadaannya.
Sampai 8 Maret 2022, pemerintah mengklaim ada 415 juta liter minyak goreng hasil CPO yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun faktanya justru terjadi kelangkaan di lapangan. Bahkan diduga bocor ke industri hingga diselundupkan keluar negeri.
"Dugaan saya DMO ini tidak diawasi," kata dia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
DMO 20 Persen
Eko meyakini, kebijakan DMO 20 persen mampu memenuhi kebutuhan domestik selama ada pengawasan yang ketat dari pemerintah. Begitu juga dengan penetapan HET yang tidak menciptakan disparitas harga minyak goreng domestik dengan pasar dunia.
"Kalau bisa menyediakan DMO 20 persen dna tidak bocor, diawasi dengan bagus, ini tidak ada kelangkaan, karena DM ini dibuat hanya untuk kebutuhan dalam negeri dan buat harga dalam negeri," katanya.
Sehingga, ke depan harus ada pengawasan yang diperketat. Bila ada eksportir yang nakal, pencabutan izin usaha menjadi solusi sanksi yang tegas dari pemerintah.
Selain itu, kebijakan ini harus dibuat lebih terang dengan mekanisme penyaluran CPO hasil DMO, diproduksi sendiri oleh perusahaan atau dialirkan ke produsen-produsen minyak goreng. Agar pemerintah bisa melihat secara transparan alur CPO tersebut sampai ke tangan konsumen.
"Tracingnya ini bisa terlihat dan ini sebetulnya bisa," kata dia.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement