Restorative Justice dalam Kasus Rasuah, Perlu Parameter Rigid Agar Tidak Disalahgunakan

Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dipimpin Jaksa Agung ST Burhanuddin mendapat apresiasi dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI).

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 19 Mar 2022, 13:23 WIB
Jaksa Agung ST Burhanuddin (kanan) saat menghadiri rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (16/1/2020) (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dipimpin Jaksa Agung ST Burhanuddin mendapat apresiasi dari Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI). Menurut dua kelompok masyarakat ini, cara Burhanuddin yang kerap menggaungkan restorative justice dalam kasus rasuah adalah sebuah trobosan.

Ketua GMKI Jefri Gultom berpandangan bahwa penegakan hukum wajib mengedepankan hati nurani. Namun, untuk mencegah disparitas penerapan restorative justice, Jefri menyarankan agar penerapan restorative justice tetap harus memiliki parameter yang lebih rigid.

"GMKI meminta agar dalam penanganan tindak pidana korupsi Kejaksaan dapat memprioritaskan pemulihan kerugian negara, dan tidak semata menekankan pada tuntutan hukuman badan," jelas Jefri dalam webinar nasional Leaders Talk GMKI dan GAMKI dengan tema "Mewujudkan Keadilan Substansial Melalui Pemberantasan Mega Korupsi dan Penerapan Restorative Justice di Indonesia", seperti dikutip dalam siaran pers diterima Jumat (18/3/2022) malam.

Jefri juga mendukung sinergitas Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan (Komjak) membuat penegakan hukum lebih baik dan pengawasan kepada kejaksaan yang dilakukan Komjak secara profesional menjadi check and balances.

"Hal itu agar kejaksaan tidak melakukan abuse of Power atau penyalahgunaan kekuasaan," harap dia.

Mendengar hal itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin yang juga hadir dalam webinar ini menyampaikan, pemberantasan korupsi tidak semata untuk mencari siapa tersangka dengan membuat efek jera namun juga untuk dapat memulihkan dan mengembalikan aset negara. Menurut dia, hal itu dapat terwujud dengan menerapkan prinsip hukum yaitu, kepastian dan kemanfaatan dalam penerapan Restorative Justice.

"Penerapan Restorative Justictie dilakukan untuk menawarkan hukum yang baik dengan mencapai keadilan yang substantif, ujar jelas Burhanuddin.


Bekerja dalam Senyap

Senior GMKI dan GAMKI sekaligus tokoh politik, Maruarar Sirait, menilai Jaksa Agung ST Burhanuddin terus bekerja dalam senyap. Sosok ST Burhanuddin, diyakini tidak ingin terlalu menonjol di media dengan cara-cara yang sensasional.

"Ini sejalaan dengan misi Indonesia, harus dipimpin oleh orang yang berintegritas dan tidak mencari popularistas dan tidak ingin terkenal dengan cara-cara yang salah," kata pria karib disapa Ara dalam webinar tersebut.

Ara melanjutkan, kasus Asabri dan Jiwasraya dengan tuntutan hukuman mati bagi para pelakunya makin menunjukkan ketajaman taring Jaksa Agung.

"Di kasus Asabri juga banyak orang-orang yang berpengaruh, tetapi Jaksa Agung berani melakukan itu gebrakan," beber putra sulung almarhum Sabam Sirait itu.

Maruarar mencatat juga gebrakan ST Burhanuddin lainnya dengan memberi reward kepada Direktur Penyidikan Kejagung Febri Ardiansyah yang dinilai sangat berani mengungkap kasus-kasus besar, kemudian dijadikan Kejati dan kini menjabat sebagai Jampidsus.

"Saya pikir itulah langkah-langkah yang hebat karena belum tentu ditempat lain, orang-orang bagus dan berani dipromosikan. Tapi di Kejaksaan Agung sekarang kita melihat hal itu," Ara memungkasi.


Infografis

Infografis Waspada Mutasi Covid-19 Kombinasi Varian Inggris-India. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya