Liputan6.com, Kabul - Hari Kebahagiaan Internasional yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) jatuh pada Minggu 20 Maret 2022. Menurut laporan Kebahagiaan Dunia, Afghanistan adalah negara yang paling tidak bahagia di dunia, bahkan sebelum Taliban berkuasa pertengahan Agustus lalu.
Laporan tahunan itu, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (20/1/2022), menempatkan Afghanistan sebagai negara terakhir di antara 149 negara yang disurvei. Dengan tingkat kebahagiaan hanya 2,5. Alias negara paling tidak bahagia di dunia.
Advertisement
Lebanon menjadi negara paling menyedihkan kedua di dunia, disusul Botswana, Rwanda dan Zimbabwe yang ada di lima terbawah dalam daftar itu.
Finlandia menempati peringkat pertama untuk tahun keempat berturut-turut dengan skor 7,8 – disusul Denmark, Swiss, Islandia dan Belanda yang ada di peringkat lima teratas.
Para peneliti memberi peringkat negara-negara itu setelah menganalisis data selama tiga tahun. Mereka mengkaji beberapa kategori, termasuk produk domestik bruto (PDB) per kapita, jaring pengaman sosial, harapan hidup, kebebasan membuat pilihan hidup, kemurahan hati penduduk dan persepsi tingkat korupsi internal dan eksternal.
Afghanistan menunjukkan hasil buruk di semua enam kategori. Hasil tersebut membingungkan karena muncul sebelum Taliban berkuasa kembali pada Agustus lalu, meskipun pihak Amerika Serikat (AS) dan dunia internasional telah menanamkan investasi selama 20 tahun.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
145 Miliar Dolar dari AS untuk Bantu Afghanistan
Menurut laporan inspektur jenderal khusus AS untuk Afghanistan, AS sejak 2002 telah menghabiskan 145 miliar dolar untuk pembangunan di Afghanistan. Namun, tetap saja ada isyarat meningkatnya keputusasaan.
Gallup, Inc. perusahaan konsultasi manajemen kinerja global asal Amerika Serikat pernah melakukan jajak pendapat pada 2018 dan mendapati bahwa hanya sedikit orang Afghanistan yang mereka survei memiliki banyak harapan untuk masa depan. Mayoritas mengatakan mereka tidak punya harapan untuk masa depan.
Korupsi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, meningkatnya kemiskinan, kurangnya pekerjaan, meningkatnya orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan dan pembangunan yang tidak menentu, yang ketika semuanya digabungkan akan memunculkan keputusasaan yang parah), kata analis Nasratullah Haqpal.
Sebagian besar warga Afghanistan memiliki harapan besar setelah 2001, ketika Taliban digulingkan dan koalisi pimpinan Amerika menyatakan kemenangan.
"Sayangnya satu-satunya fokus adalah pada perang, panglima perang dan politikus korup," ujar Haqpal.
"Orang-orang menjadi semakin miskin, semakin kecewa, semakin tidak bahagia. Itulah sebabnya mengapa 20 tahun investasi di Afghanistan ambruk hanya dalam 11 hari," ujarnya merujuk pada serangan kilat Taliban di seluruh negara itu sebelum menyapu Ibu Kota Afghanistan, Kabul pada pertengahan Agustus lalu.
Laporan itu mengingatkan setelah berkuasanya kembali Taliban, tingkat kebahagiaan Afghanistan mungkin turun lebih jauh tahun depan. Perekonomian saatnya anjlok ketika kelompok itu berjuang untuk beralih dari memberontak ke memerintah.
Advertisement