Liputan6.com, Jakarta - Sartika kini tak lagi menjual minyak goreng di warung kelontongnya di kawasan Tipar, Cakung, Jakarta Timur. Keputusan itu diambilnya sejak awal Maret 2022 karena perubahan harga yang sangat cepat. Selain harganya tak masuk akal, ketersediaan minyak goreng kemasan di agen-agen langganannya pun susah didapatkan.
Sering kali dia berlomba dengan para pelanggannya untuk mendapatkan stok minyak goreng. Info ketersediaan minyak goreng di setiap agen sangat dibutuhkan. Ketika info didapatkannya stoknya pun cepat habis karena harus berlomba juga dengan pedagang eceran lainnya.
"Biar pada nyari sendiri aja itu tetangga. Susah, agen pada sering kosong, mending buat dipakai sendiri aja. Terakhir jual itu 1/2 kilo jualan Rp 11 ribu, kalau dua liter Rp 30 ribu-an," kata Sartika kepada Liputan6.com.
Baca Juga
Advertisement
Sartika menyebut, warga di sekitar tempat tinggalnya sudah lama beralih menggunakan minyak goreng kemasan. Saat ini, lanjut dia, keberadaan stok minyak di agen langganannya juga masih sulit di dapat. Meskipun pemerintah telah memberlakukan peraturan baru.
"Sekarang juga masih susah nyarinya, itu gampang cuma di supermarket. Kalau di agen-agen masih langka," ucapnya.
Liputan6.com juga mencoba mendatangi sejumlah ritel modern seperti Alfamart dan Indomaret di kawasan Kota Bekasi, Jawa Barat. Minyak kemasan sudah tampak tersedia di rak-rak yang belakangan sempat kosong. Harganya pun bervariasi. Mulai dari Rp 23 ribu sampai Rp 26 ribu per liter.
Salah seorang warga Bekasi, Mustika Rahma Tanjung, mengaku kaget ketika mengetahui tingginya harga minyak goreng kemasan. Menurut dia, harga saat ini dua kali lipat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
"Iya mau enggak mau beli minyak kemasan daripada pakai curah. Tapi mahal banget sampai Rp 53 ribu untuk dua liter minyak goreng," ucap dia kepada Liputan6.com.
Meskipun pasokan minyak goreng kemasan telah tersedia di sejumlah ritel, di sisi lain sejumlah pedagang mengeluhkan sulitnya mencari minyak goreng curah. Seperti halnya di salah satu pasar di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Yatmi, salah satu pedagang mengaku stok minyak goreng, baik kemasan atau curah sudah kosong hampir satu pekan. Pemasok kata dia tidak memberikan penjelasan mengenai kekosongan minyak hingga Sabtu (19/3/2022) pagi. Sebelum tidak ada di pasaran Rembang, Yatmi mendapatkan minyak seharga Rp 23.900 per liter kemasan.
"Minyak curah (sekarang) kosong, hampir seminggu kosong. Belum tahu juga nanti mau jual berapa (setelah ada aturan baru Rp 14 ribu) soalnya masih kosong sampai sekarang. Terakhir saya jual Rp 14 ribu (saat HET Rp 11.300), saya enggak tahu kenapa kosong," kata dia kepada Liputan6.com.
Waspada Minyak Kemasan Oplosan
Beberapa waktu lalu Polres Metro Depok bersama Polsek Bojongsari melakukan penggerebekan gudang minyak goreng yang diduga melakukan penyelewengan repacking yang berlokasi di Jalan Pasir Putih, Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok.
Dalam sidak itu ditemukan minyak goreng sebanyak 2.300 dalam bentuk kemasan satu liter. Sidak tersebut dilakukan setelah adanya laporan masyarakat terkait penyelewengan pendistribusian minyak goreng di wilayah tersebut. Pendistribusiannya dilakukan di sejumlah toko di Kota Depok dan Kabupaten Bogor.
"Kami menemukan minyak goreng yang sebelumnya merupakan merek lain dikemas menjadi merek lainnya dan dijual ke sejumlah toko," ujar Kasat Reskrim Polres Metro Depok, AKBP Yogen Heroes Baruno, kepada Liputan6.com.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga mengatakan terdapat sejumlah cara untuk mengetahui kelayakan produk minyak goreng hasil repacking atau pengemasan ulang minyak goreng curah. Yakni mulai dari label yang ada dalam kemasannya. Seperti halnya nama perusahaan yang memproduksi.
Lalu, dalam kemasan seharusnya terdapat tanda Standar Nasional Indonesia (SNI) dan izin edar dari BPOM. Kemudian adanya barcode produk. Hal tersebut untuk mengetahui waktu produksi. "Kalau 1 sampai dengan 3 itu lengkap, maka produk ini adalah legal untuk diperdagangkan," kata Sahat kepada Liputan6.com.
Setelah kelangkaan minyak goreng terjadi di sejumlah daerah, pemerintah melakukan pembaharuan aturan main perdagangan. Yaitu melakukan pencabutan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng kemasan dan dilepas pada harga pasaran. Hal tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 11 tahun 2022 tentang Penatapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Minyak Goreng Curah.
Dalam aturan tersebut pemerintah juga mengatur kepastian harga minyak goreng curah. Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi pun menetapkan HET minyak goreng curah sebesar Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram. Aturan yang diterbitkan pada 16 Maret 2022 itu menggantikan Permendag Nomor 06 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.
Nantinya, pengecer harus mengikuti aturan HET minyak goreng curah yang telah ditentukan kepada konsumen yaitu masyarakat, usaha mikro, dan usaha kecil. Jika pengecer melanggar ketentuan akan dikenakan sanksi administratif.
Sedangkan untuk industri menengah dan industri besar, termasuk pengemas yang melanggar ketentuan juga akan dikenai sanksi administratif. Yakni penghentian kegiatan sementara dan/atau pencabutan perizinan berusaha.
Advertisement
Disparitas Harga Minyak Goreng Curah dan Kemasan
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Fadhil Hasan menilai kebijakan pemerintah melepas harga minyak goreng kemasan ke pasaran merupakan bentuk perbaikan dari sebelumnya.
Kendati begitu, langkah tersebut juga disebut masih menyisakan banyak persoalan. Sebab dengan adanya disparitas harga di dalam pasar berdampak pada potensi dorongan orang untuk mendapatkan keuntungan besar sejumlah pihak.
"Tetapi itupun menyisakan persoalan dan menyimpan risiko karena yang akan terjadi juga disparitas harga antara minyak goreng curah dengan minyak goreng kemasan. Kalau ada dua harga seperti ini sekali lagi balik lagi persoalan tadi itu ada insentif untuk menyelewengkan menyalahgunakan atau menimbun seperti itu," kata Fadhil kepada Liputan6.com.
Pengawasan dan penekanan memang sangat diperlukan. Namun, Fadhil sedikit meragukan pelaksanaan pengawasan tersebut. Sebab ada ribuan pasar tradisional sebagai lokasi jual beli minyak curah. Selain itu pengawasan dalam pendistribusian dari produsen hingga ke pasar tradisional juga harus dimaksimalkan.
Masalah Pendistribusian
Jalur pendistribusian lanjut dia merupakan permasalahan yang rumit dan kompleks untuk ditangani. Karena hal itu, Fadhil menyebut skema pemberian subsidi terkait minyak goreng dapat diubah. Yaitu dengan cara memberikan bantuan secara langsung kepada konsumen bukan terhadap produk atau komoditinya.
Hal itu lanjut dia, dapat dilakukan melalui data para penerima bantuan sosial yang dimiliki oleh Kementerian Sosial. Menurut Fadhil dalam pemberian subsidi tambahan itu pemerintah dapat berpatokan pada hasil itung konsumsi minyak goreng masyarakat dengan harga sebelum dan sesudah ada kenaikan. Nantinya selisih tersebut dapat diberikan sebagai bentuk subsidi secara langsung
"Perkara nanti dipakai masyarakat untuk menggunakan tambahan subsidi kenaikan minyak goreng untuk konsumsi minyak goreng, kita tidak bisa memastikan atau mengawasinya. Setidaknya masyarakat sudah dana yg bisa mereka gunakan untuk menutupi beban tambahan beban akibat kenaikan minyak goreng itu," ucapnya.
Pemantauan Praktik Tidak Sehat
Sementara itu Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi hanya pada minyak goreng curah merupakan bentuk responsif dari peristiwa sebelumnya. Karena sebelumnya pemberian subsidi untuk semua jenis minyak goreng memberikan dampak kelangkaan. Masyarakat di sejumlah daerah pun sampai rela mengantre untuk mendapatkan minyak goreng.
Kelangkaan dan antrean panjang merupakan bentuk tidak sampainya subsidi pemerintah kepada masyarakat menengah ke bawah.
"Treatment sekarang itu lebih pas kalau melihat efeknya, ketika subsidi itu diberikan. Bisa efektif itu apa artinya mencapai tujuan sampai ke konsumen menengah ke bawah yang tidak bisa menjangkau harga yang mahal, kalau syarat-syarat atau permasalahan lain yang menganggu keefektifan subsidi ini bisa diatasi," kata Faisal kepada Liputan6.com.
Faisal menilai masalah kelangkaan sering kali terjadi di masyarakat, tak hanya minyak goreng. Kelangkaan suatu komoditas dapat terjadi ketika adanya disparitas harga yang terlalu jauh di masyarakat. Kemudian muncul spekulan. Apalagi proses pendistribusian di Indonesia masih mengalami permasalahan yang kompleks dan belum teratasi.
"Artinya akar permasalahan dalam hal pemantauan dan penegakan ya praktik-praktik yang tidak sehat dalam sepanjang jalur distribusi itu tetap harus dijalankan sekarang," ujar dia.
Karena hal itu, dia meminta pemerintah untuk melakukan pengawasan dan penegakan yang lebih baik agar tidak terjadi lagi kelangkaan. Misalnya pada minyak goreng curah yang saat ini mendapatkan subsidi. Kemungkinan besar lanjut Faisal praktik penumpukan minyak yang disubsidi akan berlanjut. Sebab disparitas harga minyak curah dan kemasan sangat jauh.
"Karena kalau tidak akan timbul masalah bukan timbul masalah lagi seperti sebelumnya dan akan ada tambahan masalah lain. Misalnya bisa jadi minyak yang dioplos antara yang curah dengan kemasan dan dijual lebih murah," ucap Faisal.
Selain itu, lanjut dia, saat ini pemerintah juga harus memikirkan mengenai efek musiman jelang Ramadan terkait naiknya harga minyak goreng. Sebab jelang Ramadan dan Lebaran cenderung adanya kenaikan harga barang karena adanya permintaan konsumen yang meningkat. Karena itu pemerintah diminta untuk ekstra hati-hati dalam menyelesaikan satu per satu masalah minyak goreng.
Selama masih ada kelangkaan di masyarakat, Faisal menyebut subsidi yang diberikan oleh pemerintah tidak tepat sasaran. "Yang jelas dari permasalahan rutin yang musiman lebaran dan Ramadan ini biasanya masalah distribusinya pemerintah musti perkuat kembali. Karena ini terus terang lemah ini terbukti sekarang ketika berubah kebijakannya curah yang disubsidi sudah mulai keliatan kelangkaannya. Jadi ini lebih kompleks ya saya rasa ini mau tidak mau di buat mekanisme sistem pengawasannya," dia memaparkan.
Advertisement
Konsumsi Minyak Goreng Nasional
Beberapa waktu lalu, Mendag Muhammad Lutfi, menyatakan jika kebutuhan minyak goreng nasional diproyeksikan sebesar 5,7 juta liter pada tahun 2022. Jumlah tersebut terbagi untuk sejumlah kategori. Kebutuhan minyak goreng untuk rumah tangga diperkirakan sebesar 3,9 juta liter.
Angka itu terdiri dari 1,2 juta liter kemasan premium, 231.000 liter kemasan sederhana dan 2,4 juta liter curah. Sedangkan konsumsi rumah tangga, 327 ribu lebih liter minyak goreng per bulan. Kemudian untuk kebutuhan industri mencapai 1,8 juta liter minyak goreng.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan menyatakan isu kelangkaan jadi alasan Kemendag mencabut kebijakan HET untuk minyak goreng kemasan Rp 14.000 per liter. Kelangkaan dapat berdampak pada sejumlah hal dan dapat membahayakan.
"Sudah dilepas (minyak goreng kemasan) berdasarkan Permendag Nomor 11 tahun 2022 itu untuk harga minyak goreng kemasan dilepas dengan mekanisme pasar. Jadi diserahkan kepada perusahaan," kata Oke kepada Liputan6.com.
Dia juga menjelaskan terkait konsep mekanisme pasar, yang dikatakan merupakan harga keekonomian yang disesuaikan dengan kondisi pasar. Artinya harga keekonomian akan dihitung mulai dari biaya produksi, harga crude palm oil (CPO), hingga pengemasan produk.
"Minyak goreng itu saya perkirakan harga wajarnya itu di tingkat Rp 19 ribu sampai Rp 25 ribu, dari curah sampai premium. Pasar terdiri dari supply and demand. Walaupun pasokan banyak, kalau permintaannya enggak mau, ya enggak mau," jelas dia.
Ketua umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey mengatakan jika kelangkaan minyak goreng kemasan di sejumlah wilayah terjadi karena adanya pemerataan suplai ke setiap daerah. Untuk kebutuhan minyak goreng di retail modern satu bulan mencapai 30 juta liter.
"Kalau kita ambil jumlah pasokan yang dapat diproduksi bahkan didistribusi berkisar pada 250 juta liter artinya kami selaku penguasa ritel modern seluruh Indonesia hanya membutuhkan 10 persen minyak goreng (dari pasokan nasional) untuk dapat kita jual di seluruh gerai ritel modern. 90 persen itu adalah untuk minyak curah ditambah operasi pasar," ucapnya.
Lanjut dia, ketersediaan minyak goreng secara nasional sudah aman. Hanya saja pendistribusiannya masih terkendala dan belum merata. "Bendungan produksi sudah baik tapi irigasi itu yang masih diurai karena irigasi ini sangat tergantung dengan jarak waktu kemudian juga bagaimana kelancaran alur irigasi itu juga sedang diurai sehingga bila sudah selesai pasti semua dapat kembali dipasok dan berjalan dengan normal," dia menjelaskan.
Alternatif Minyak Goreng
Peneliti dari BRIN Puji Lestari menyebut minyak goreng sawit merupakan minyak yang digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Sebab secara kultur masyarakat sangat menyukai gorengan. Selain itu secara komoditas memiliki harga yang murah dan efisien. Lalu minyak sawit juga dapat digunakan dalam suhu tinggi.
Kata dia, terdapat sejumlah minyak goreng alternatif lain yang dapat digunakan masyarakat selain dari sawit. Seperti halnya minyak kelapa, kedelai, biji bunga matahari, jagung, hingga kanola.
"Sebenarnya ya kalau masih kita memang sedikit agak berbeda, dalam hal oke kita berpikirnya kesehatan. Kedua dari kalangan ekonomi manapun sebenarnya ada alternatif lain yang harganya juga kalau kita bilang masih bersaing," kata Puji kepada Liputan6.com.
Dengan adanya kelangkaan minyak goreng ataupun naiknya harga Puji mengimbau masyarakat untuk tidak terfokus dalam masakan yang hanya digoreng. Selain itu saat ini merupakan momentum pemerintah untuk mensosialisasikan masyarakat untuk menggunakan minyak goreng alternatif.
"Ini jadi pembelajaran kita semua jangan tergantung pada gorengan minyak sawit. Kita bisa beralih masakan yang lain," dia menjelaskan.
Benahi Tata Kelola Minyak Goreng
Sementara itu, pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita menegaskan pemerintah perlu membenahi tata kelola minyak goreng. Misalnya, memastikan pasokan CPO terpenuhi dengan harga terjangkau.
Selama ini, dengan berbagai kebijakan yang dilakukan, ia menilai pemerintah belum membenahi tata kelola terkait minyak goreng.
Menurutnya selama ini pemerintah hanya sibuk mengungkap tempat-tempat distributor menyimpan barang di satu sisi dan menteri perdagangan sesumbar akan membenahinya di sisi lain tanpa jelas langkahnya.
"Jika pemerintah fokus membenahi tata kelola minyak goreng, maka pemerintah semestinya fokus untuk mengamankan harga CPO dalam negeri dan mengamankan jatah DMO, bukan justru fokus ke harga jual minyak goreng," katanya kepada Liputan6.com.
Advertisement