Liputan6.com, Jakarta - Minyak kelapa buatan warga Desa Kadidia tidak berbeda dari minyak kelapa kebanyakan. Namun, produk ini adalah solusi yang disodorkan memenuhi urusan dapur sekaligus membantu melindungi kawasan Taman Nasional Lore Lindu di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.
Kepala Resor Kadidia sekaligus polisi hutan Richo Nanditho Sitinjak menerangkan, inisiatif pembuatan minyak kelapa oleh warga Kadidia muncul sejak tahun lalu. Ide yang muncul dari pihak Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu itu datang setelah melihat banyaknya pohon kelapa di desa tersebut.
Baca Juga
Advertisement
"Maka, hal yang terpikir adalah memproduksi minyak kelapa asli," ucap Richo kepada Liputan6.com, Selasa, 15 Maret 2022.
Langkah pertama dimulai dengan mengajari cara produksi minyak kelapa secara tradisional. Pertama-tama, kelapa tua dibelah dan dikeluarkan dagingnya untuk diparut. Setelah daging kelapa dihaluskan, diperaskan dengan dibantu air untuk mendapatkan santan.
Selanjutnya, santan dimasak di atas tungku kayu selama beberapa jam. Terakhir, santan yang sudah diolah didiamkan beberapa jam hingga terpisah antara air dan minyak. Minyak yang mengambang itulah yang dibotolkan. Proses pembuatan dari awal hingga dibotolkan bisa memakan waktu dua hari.
"100 persen kelapa asli," ucap Richo berpromosi. Minyak kelapa itu dijual dalam kemasan botol 500 ml seharga Rp25 ribu.
Harganya lebih tinggi dibandingkan minyak goreng dari kelapa sawit karena produksinya belum massal. Richo menyebut warga yang tergabung dalam Kelompok Sari Kelapa itu saat ini rata-rata hanya memproduksi 20--30 botol sebulan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Disimpan di Luar
Richo mengatakan minyak kelapa memiliki aroma yang khas yang bisa menambah cita rasa makanan. Kelebihan lainnya adalah dibandingkan minyak kelapa sawit, kadar kolesterolnya lebih rendah.
Namun, aroma pula yang membuat tricky. Dalam kesempatan berbeda, Chef Chandra Yudaswara menyebut aroma minyak kelapa bisa sangat mendominasi makanan sehingga tak semua makanan cocok diolah menggunakan minyak kelapa.
"Kalau goreng bakwan, misalnya, jadi terlalu kuat. Tapi, kalau Bali, Lombok, minyak kelapa udah dominan," kata dia.
Advertisement
Tantangan Utama
Terlepas dari itu, Richo menyebut ada pekerjaan rumah utama yang belum terselesaikan sepenuhnya dalam produksi minyak kelapa rumahan itu, yakni pola pikir warga desa. Mereka yang tergabung sebagai anggota kelompok masih mempertahankan cara kerja lama, yakni bekerja di hutan atau kebun-kebun yang ada.
"Saat ini (minyak kelapa) masih belum bisa ready setiap saat, dikarenakan masih fokus dalam penyadartahuan kepada masyarakat bahwa selain mengolah kebun masih ada cara lain untuk meningkatkan ekonomi," ucap Richo.
Kesadaran masyarakat ini penting mengingat mereka adalah mitra utama pihak balai dalam melestarikan Taman Nasional Lore Lindu. Terlebih, jumlah polisi hutan yang bertugas tak sebanding dengan luasan taman nasional yang mencapai 2.180 kilometer persegi.
Diversifikasi Produk
Richo mengatakan meski harga minyak kelapa yang ditawarkan lebih tinggi dari minyak goreng, marginnya kecil. Ia pun sangat senang bila ada konsumen yang memesan. Hal itu akan lebih menyemangati warga untuk tidak lagi beraktivitas di dalam hutan.
"Di masa-masa kelangkaan minyak goreng ini sebenarnya tidak memengaruhi permintaan dikarenakan peminat minyak kelapa asli ini hanya kalangan-kalangan tertentu," dia menambahkan.
Sejauh ini pemesan lebih banyak datang dari masyarakat kenalan petugas Taman Nasional Lore Lindu atau sekitar Desa Kadidia. Bila Anda tertarik, kelompok itu membuka pesanan lewat telepon 087778951805.
Selain memproduksi minyak kelapa, kelompok itu juga mengolah batok kelapa sebagai cenderamata. Tujuannya selain mengurangi limbah, juga menambah pemasukan bagi warga setempat. (Natalia Adinda)
Advertisement