Ngeri, BI Beberkan 3 Ancaman Serius Ekonomi Dunia di 2022

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan, saat ini ada tiga tantangan yang tengah dihadapi dalam proses pemulihan ekonomi global.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 21 Mar 2022, 15:45 WIB
Pelanggan menelusuri kios makanan di dalam Grand Central Market di pusat kota Los Angeles, California, Jumat (11/3/2022). Laju inflasi Amerika Serikat (AS) pada Februari 2022 melonjak ke level tertinggi dalam 40 tahun. Ini didorong naiknya harga bensin, makanan dan perumahan. (Patrick T. FALLON/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi dunia sudah berangsur pulih dari dampak pandemi Covid-19 yang berlangsung selama hampir 2 tahun. Namun demikian, negara-negara di dunia kini dihadapi tantangan baru yang bisa lebih mengerikan, yakni kenaikan suku bunga bank Sentral Amerika Serikat (AS) Atau The Federal Reserve (The Fed) hingga perang Rusia dengan Ukraina.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan, saat ini ada tiga tantangan yang tengah dihadapi dalam proses pemulihan ekonomi global. Pertama, dampak dari normalisasi kebijakan negara-negara maju. Ini tergambar dari kebijakan The Fed yang sudah menaikan suku bunga Fed Funds Rate (FFR) per Maret 202.

"Semula kami perkirakan lima kali tahun ini, tapi inflasi yang tinggi dan pertumbuhan yang cepat di Amerika kemungkinan akan mendorong bank sentral menaikan suku bunga tujuh kali. Termasuk yang sudah sekali Maret ini," ujarnya dalam Kuliah Umum G20, Senin (21/3/2022).

Kebijakan tersebut lantas bakal berdampak pada kenaikan suku bunga global, dan juga persepsi risiko di tingkat dunia. Kondisi itu jelas akan mempersulit negara berkembang untuk bisa pulih, karena harus menghadapi dampak dari rambatan global ketidakpastian dan kenaikan suku bunga global terhadap arus modal.

"Karenanya juga membatasi kemampuan negara-negara berkembang dalam merumuskan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri," imbuh Perry.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Dampak Memar Pandemi

Warga mengantre untuk melakukan tes COVID-19 di Hangzhou, Provinsi Zhejiang, China, Selasa (15/3/2022). Kasus harian COVID-19 di China meningkat lebih dari dua kali lipat dari hari sebelumnya karena negara itu sejauh ini menghadapi wabah terbesar sejak awal pandemi. (Chinatopix via AP)

Isu kedua, dampak luka memar (scarring effect) dari pandemi Covid-19. Banyak korporasi di negara maju terkena pengaruh scarring effect. Itu turut berdampak pada kemampuan pemulihan ekonomi.

"Demikian juga di banyak negara berkembang, memulihkan dunia usaha jadi isu yang harus diatasi. Memang penyaluran kredit perlu ditingkatkan. Tapi lebih dari itu, bagaimana melakukan reformasi di sektor riil, transformasi struktural agar bisa mendorong daya saing dan produktivitas di sektor riil dan dunia usaha," tuturnya.

"Dunia usaha juga harus berubah, bagaimana melakukan strategi bisnis post covid era," tegas Perry.

 


Perang Rusia

Relawan Pasukan Pertahanan Teritorial Ukraina membantu seorang perempuan menyeberang jalan di Kharkiv, 16 Maret 2022. Invasi Rusia ke Ukraina memasuki hari ke-21. Berbagai upaya negosiasi menuju kompromi telah dilakukan demi menuju perdamaian di antara kedua belah pihak. (AP Photo/Andrew Marienko)

Tantangan ketiga sekaligus yang paling berdampak, ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Perry menyebut, ada tiga dampak yang terjadi imbas ketegangan Rusia dan Ukraina.

"Pertama, kenaikan harga-harga komoditas global. Tidak hanya energi, tapi juga pangan. Berdampak pada kenaikan inflasi dari berbagai negara," seru dia.

Aspek kedua, kegaduhan dalam mata rantai perdagangan global. Ketegangan ini juga berpengaruh pada rantai distribusi pasokan, juga volume perdagangan global.

"Tentu saja berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi global, yang berisiko lebih rendah dari perkiraan 4,4 persen karena menurunnya volume perdagangan global," ucap Perry.

Dampak ketiga yakni jalur keuangan. Tidak hanya berpengaruh pada persepsi global, saat ini banyak pelaku di pasar global kembali untuk memegang safe haven asset yang jelas punya risiko rendah.

"Tentu saja termasuk juga cash, dan mereka menarik aliran modalnya ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dan bisa berdampak terhadap stabilitas eksternal dan nilai tukar," ungkap Perry.

"Tiga dampak dari geopolitik Rusia-Ukraina ini juga berpengaruh, bagaimana banyak negara harus mengkalibrasi ulang kebijakan dalam merespon penurunan pertumbuhan ekonomi global, menaiknya harga-harga akibat inflasi, dan tentu juga persepsi risiko dalam pasar keuangan global, termasuk Indonesia," tandasnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya