Liputan6.com, Jakarta Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menolak permohonan praperadilan yang diajukan Jhon Irfan Kenway dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter AW 101. Jhon Irfan merupakan tersangka dalam kasus ini namun belum diumumkan oleh KPK.
"Mengadili, menolak permohonan praperadilan dari pemohon (Jhon Irfan Kenway) untuk seluruhnya," ujar hakim tunggal Nazar Effriandi dalam amar putusannya, Selasa (22/3/2022).
Advertisement
Ini kali kedua hakim praperadilan PN Jaksel menolak praperadilan Jhon Irfan.
Pada putusannya, hakim menilai permohonan pencabutan status tersangka terhadap Jhon Irfan oleh KPK sudah sesuai aturan. Termasuk mekanisme KPK dapat menghentikan penyidikan suatu kasus yang sudah berjalan dua tahun, menurut hakim hal tersebut tetap menjadi kewenangan KPK.
Pasalnya, dalam UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 diselipkan kata dapat. Yakni KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan tidak selesai paling lama dua tahun. Lagipula, menurut hakim, hal tersebut bukan objek praperadilan.
"Yang dipersoalkan adalah tetap dipertahankannya pemohon sebagai tersangka meski penyidikan sudah lebih dari dua tahun, hakim tunggal berpendapat maka alasan sudah lampau dua tahun tidak dapat dijadikan alasan untuk pembatalan termohon sebagai tersangka," kata hakim.
Sementara terkait dengan petitum tidak adanya tersangka dari unsur penyelenggara negara dalam kasus ini, menurut hakim, permohonan tersebut juga harus ditolak lantaran masuk dalam ranah teknis.
"Oleh karena hal yang dikemukan pemohon masuk ranah teknis dalam pengungkapan suatu tindak pidana bukan lagi menyangkut aspek formil seperti yang dimaksud SEMA 4/2016, maka hakim tunggal sependapat termohon maka alasan-alasan ini harus ditolak," kata dia.
Juga Tolak soal Penyitaan
Hakim juga menolak permohonan Jhon Irfan yang mempermasalahkan penyitaan dan pemblokiran aset oleh KPK dalam kasus ini. Jhon Irfan mempermasalahkan lantaran yang disita KPK adalah aset pribadi bukan milik PT Diratama Jaya Mandiri.
"Hakim menilai persoalan sudah masuk pembuktian pokok perkara apakah uang yang dimaksud uang negara atau tidak, hakim tunggal praperadilan tidak punya kewenangan untuk memberikan penilaian. Sependapat dengan termohon maka alasan-alasan pemohon harus ditolak," kata hakim.
Diketahui, KPK dan TNI membongkar dugaan korupsi pengadaan helikopter AW-101 oleh TNI AU. Dalam kasus ini, KPK menetapkan Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka.
PT Diratama Jaya Mandiri diduga telah membuat kontrak langsung dengan produsen Heli AW-101 senilai Rp514 miliar. Namun, pada Februari 2016 setelah meneken kontrak dengan TNI AU, PT Diratama Jaya Mandiri menaikkan nilai jualnya menjadi Rp738 miliar.
Dalam kasus ini Puspom TNI juga menetapkan beberapa tersangka lain. Mereka adalah Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara Marsekal Pertama Fachri Adamy selaku pejabat pembuat komitmen atau kepala staf pengadaan TNI AU 2016-2017, Letnan Kolonel TNI AU (Adm) berinisial WW selaku pejabat pemegang kas, Pembantu Letnan Dua berinisial SS selaku staf Pekas, Kolonel FTS selaku kepala Unit Layanan Pengadaan dan Marsekal Muda TNI SB selaku asisten perencana kepala staf Angkatan Udara.
Selain menetapkan sebagai tersangka, KPK dan TNI juga menyita sejumlah uang sebesar Rp7,3 miliar dari WW. Puspom TNI bahkan sudah memblokir rekening PT Diratama Jaya Mandiri sebesar Rp139 miliar.
Namun belakangan TNI menghentikan penyidikan terhadap mereka. TNI beralasan tak memiliki bukti yang cukup untuk melanjutkan penyidikan kasus tersebut.
KPK sendiri belum pernah mengumumkan Jhon Irfan sebagai tersangka. Namun KPK sudah digugat Jhon Irfan yang menyebut dirinya sudah dijadikan tersangka oleh KPK.
Advertisement