Liputan6.com, Belgrade - Pada 24 Maret 1999, NATO melakukan serangan terhadap Yugoslavia. Keputusan diambil usai terjadinya pembersihan etnis yang dilakukan pemerintahan Yugoslavia kepada rakyat Kosovo.
Dilansir situs History, serangan NATO ini diambil tanpa restu Dewan Keamanan PBB. Alhasil, legitimasi serangan itu masih diperdebatkan di ranah hubungan internasional.
Baca Juga
Advertisement
Pada saat itu, hubungan politik di Yugoslavia antara pemerintah dan warga Kosovo tidak akur. Pemerintahan pusat Yugoslavia saat itu (Serbia) dikuasai Presiden Slobodan Milosevic dari Partai Komunis yang tak suka dengan independensi Kosovo.
Namun, Kosovo tetap tak mau mengikuti pemerintah pusat. Yugoslavia akhirnya pecah pada 1991 dan hanya tersisa Serbia dan Montonegero.
Pemerintahan di Serbia terus melakukan serangan dan akhirnya terjadilah pembunuhan massal warga Kosovo yang mayoritas beretnis Albania. Sejarah mencatat banyaknya kejahatan perang yang terjadi di berbagai lokasi, termasuk dugaan berbagai kasus pemerkosaan
NATO akhirnya memutuskan untuk menyerang Serbia dengan operasi selama 78 hari. Serangan ke Yugoslavia adalah kampanye militer pertama NATO.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Serangan NATO berhasil membuat pemerintah Serbia untuk melakukan perdamaian.
Namun, serangan NATO juga dikritik karena mengenai Kedutaan Besar China di Belgrade. Tiga jurnalis China tewas atas peristiwa itu dan hubungan diplomasi antara Amerika Serikat dan China memburuk.
Terjadi pula kesalahan serangan NATO, sehingga sejumlah pengungsi meninggal dunia.
Slobodan Milosevic meninggal dunia di penjara pada 2006. Ia pernah diseret ke Mahkamah Pidana Internasional di Den Haag pada 2002 atas tindakannya. Ia juga dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Yugoslavia kini terpecah menjadi Kroasia, Bosnia dan Herzegovina, Kroasia, Kosovo, Montenegro, Makedonia Utara, Slovenia, dan Serbia.
Advertisement