Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Perjuangan (Apkasindo Perjuangan) Alvian Arahman meminta alokasi dana kepada petani sawit ditambah. Ia menilai dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) masih minim untuk petani.
Menurut data yang dimilikinya, ada sekitar 6,7 hektare lahan kebun kelapa sawit dimiliki oleh rakyat. Untuk itu, dana BPDPKS untuk program peremajaan sawit rakyat (PSR) baru sebesar Rp 6,9 triliun.
Padahal, ia menyebut, sejak 2015 hingga 2021, dana yang dipungut BPDPKS dari perkebunan sawit sudah tembus Rp 139 triliun.
“Kita melihat penggunaan dana yang disampaikan (data) BPDPKS 79 persen untuk biodiesel atau Rp 110 triliun untuk biodiesel,” katanya saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI, Kamis (24/3/2022).
Sementara, untuk program PSR terealisasi baru Rp 6,9 triliun, atau persentasenya 4,73 persen. Untuk Sarpras (sarana-prasarana) ini baru Rp 21 miliar atau 0,05 persen dan SDM baru Rp 204 miliar atau 0,15 persen.
“Terkait hal tersebut, kami menyampaikan supaya petani mendapatkan hasil jerih payahnya sendiri, petani harus hadir dan masuk ke sistem tersebut, supaya timbul keadilan, supaya penggunaan dana dari BPDPKS tersebut seimbang dan seadil-adilnya,” katanya.
Dengan besaran alokasi tersebut, Alvian Arahman menilai hal itu belum bisa mensejahterakan petani sawit. Maka ia mengusulkan untuk petani dilibatkan sesuai dengan usulannya tersebut.
“Masih jauh harapan petani untuk makmur, jadi mungkin kalau petani belum masuk ke sistem tersebut masih agak sulit untuk meningkatkan kesejahteraan petani,” ujarnya.
Baca Juga
Advertisement
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Regulasi
Lebih lanjut, ia menyebut yang jadi tantangan para petani saat ini berkaitan dengan regulasi. Meski, diakuinya, telah ada peraturan dari Kementerian Pertanian yang menyederhanakan persyaratan untuk terlibat dalam program PSR.
“Misalnya PSR, ini persyaratan tadinya 14, turun jadi 8, turun jadi 4, turun lagi jadi dua, tapi praktik di lapangannya masih seperti sama,” ungkapnya.
“Jadi kalau sekarang mengacu Permentan (Permentan 3/2022) tinggal 2 syarat, kelembagaan petani, dan status kawasan hutan, legal atau kawasan hutan. Ini yang menurut kami walaupun permentan sudah mencantumkan dua syarat tapi praktiknya masih sama seperti semula. Mohon regulasi disempurnakan supaya jangan memberatkan petani,” paparnya.
Advertisement