Liputan6.com, Semarang Nyadran adalah sebuah tradisi masyarakat Jawa yang dilakukan sejak zaman hindu-budha, sebelum agama islam masuk. Diketahui pada zaman Majapahit sekitar tahun 1284 terdapat sebuah tradisi yang mirip dengan nyadran bernama sraddha. Hampir sama dengan Nyadran, sraddha juga merupakan sebuah ritual yang dilakukan untuk memberi penghormatan kepada raja.
Kini seiring berkembangnya waktu terutama ketika islam masuk, tradisi Nyadran pun mulai mendapatkan pengaruh dari agama Islam. Jika dulu nyadran dilakukan dengan mengucapkan puji-pujian, kini nyadran diganti dengan kegiatan membaca ayat suci Al-Quran, zikir, tahlil, dan doa.
Advertisement
Bebersih makam sebagai lambang membersihkan diri
Nyadran sendiri berasal dari kata sadran, serapan dari bahasa Sansekerta, sraddha yang memiliki arti keyakinan. Bagi masyarakat Jawa Nyadran dimaknai sebagai tradisi pembersihan makam. Khususnya bagi masyarakat desa, percaya bahwa membersihkan makam adalah simbol membersihkan diri sebelum memasuki bulan Ramadan. Bukan hanya perihal hubungan dengan Tuhan, nyadran juga sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur yang telah mendahului.
Nyadran umumnya dilakukan pada hari ke-10 bulan Rajab atau saat datangnya bulan Sya’ban. Untuk masyarakat Jawa biasanya menyebutnya sebagai Ruwah. Dalam kegiatan nyadran biasanya dilakukan pembersihan makam, pembacaan ayat suci Al-Quran, zikir, tahlil kemudian diakhiri dengan kegiatan makan bersama. Makanan yang disajikan dalam nyadran juga merupakan hasil bumi seperti nasi tumpeng, ayam ingkung, pisang, dan banyak lagi.
Banyak yang percaya bahwa tradisi Nyadran yang dilakukan oleh masyarakat Jawa ini juga bertujuan untuk mengingatkan manusia akan adanya kematian.
Advertisement