Liputan6.com, Jakarta - PT Bina Karya Prima (BKP) mengaku sedikit kesulitan beradaptasi dengan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng, dan kewajiban pemenuhan pasar dalam negeri (DMO) untuk pedagang minyak sawit mentah (CPO).
CEO BKP Fenika Widjaya bercerita, pihaknya selaku produsen minyak goreng awalnya masih belum terbiasa dengan skema HET. Terlebih harga CPO kala itu sedang melangit, sehingga pemerintah menetapkan kebijakan DMO 20-30 persen.
"Kendala yang kami hadapi ketika diterapkan HET, mungkin karena skema DMO merupakan pola baru yang belum ada presedennya, sehingga kami sedikit butuh extra effort untuk mencari kontributor yang bersedia berkolaborasi. Namun akhirnya cukup lancar," paparnya dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (24/3/2022).
Namun, menurut data yang dipaparkannya, justru angka penjualan minyak goreng paling tinggi berada pada saat skema HET dan DMO diterapkan. Bahkan di atas angka penjualan rata-rata di sepanjang 2021 lalu.
Adapun rata-rata penjualan produk minyak goreng kemasan PT BKP seperti merek Tropical per 2021 sebesar 1,46 juta liter per hari. Angkanya sedikit turun di Januari 2022, sekitar 1,37 juta liter per hari.
Penjualannya meroket jadi 1,99 juta liter per hari, atau tumbuh 37 persen dibanding 2021 pada Februari 2022. Lalu mencapai angka puncak pada 1-15 Maret 2022, sebesar 2,50 juta liter per hari.
"Memang tertingginya ada di Maret, fase ketika ada HET dan DMO," ungkapnya.
Baca Juga
Advertisement
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kebijakan Dihentikan
Saat dua kebijakan itu dihentikan, angka penjualan minyak goreng pun menukik jadi 1,63 juta liter per hari. Itu terjadi selama periode waktu 16-21 Maret 2022.
"Pada saat fase HET DMO sebenarnya pengeluaran dari kami yang paling tinggi. Jadi tidak ada penimbunan dari khususnya kami," tegas Fenika.
Advertisement
Ekonom Usul Ekspor CPO Dikenai Pajak Progresif
Sebelumnya, ekonom CORE Indonesia Dwi Andreas menjelaskan, selama ini tarif pajak yang ditarik untuk ekspor CPO tetap. Ia mengusulkan jika harga CPO naik maka tarif pajak yang ditarik juga ikut naik.
"Sekarang kan buat ekspor kelapa sawit ini tarif ekspornya tetap. Mau nilainya berapa tetap. Ketika harga komoditasnya naik, jadi menyesuaikan dengan harga," kata Andreas saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Jumat (18/3/2022).
Menurut Andreas pajak progresif ini akan membuat eksportir tetap menyediakan CPO untuk pasar domestik. Sebab, tarif pajak yang dikenakan menyesuaikan dengan harga yang berkembang di pasar global. Apalagi sejak kenaikan harga minyak dunia, pengusaha sawit sudah untung berkali lipat.
"Pengusaha sawit ini menikmati keuntungan yang besar, luar biasa. Apalagi yang raksasa dan punya kekuatan yang besar," kata dia.