Liputan6.com, Jakarta - Tuberkulosis (TB) menjadi salah satu agenda yang dibahas dalam Presidensi G20 Indonesia 2022. Mengingat setengah pasien TB ada di negara-negara anggota G20, seperti disampaikan Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama.
"Setengah pasien tuberkulosis (TB) berada di negara-negara G20. Artinya, 50 persen masalah tuberkulosis ada di negara-negara G20." Demikian pernyataan Tjandra Yoga Aditama yang kini menjabat sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas YARSI.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI sudah menargetkan Indonesia harus mencapai eliminasi tuberkulosis pada 2030 mendatang. Berbagai intervensi diperlukan untuk mengakhiri TB, seperti skrining dan pemantauan pasien TB agar penyakit tersebut dapat disembuhkan. Yang tak kalah penting adalah komitmen pendanaan untuk mencapai eliminasi TB.
Baca Juga
Advertisement
“Di dalam Presidensi G20, kita harus mencapai kesepakatan peningkatan anggaran untuk masalah tuberkulosis yang harus kita akhiri di dunia tahun 2030. Finansial harus kuat. Terlebih ada beberapa anggota kelompok G20, yakni Tiongkok, India, Indonesia, dan Afrika Selatan dengan angka TB tinggi,” kata Tjandra saat konferensi pers ‘World TB Day’ ditulis Senin, 28 Maret 2022.
“Selain finansial, kemampuan memberikan support. juga diperlukan untuk eliminasi TB. Kita butuh komitmen secara nyata. Nanti juga perlu dibicarakan lagi, apa yang akan dilakukan negara-negara G20 selama Presidensi G20 untuk menuju target eliminasi TB pada 2030.”
Tjandra menyoroti pengendalian TB dapat dilakukan serupa dengan penanganan COVID-19. Skrining dan pencatatan TB dapat meniru aplikasi PeduliLindungi sehingga terpantau kondisi real time, berapa pasien TB baru, berapa yang sembuh, berapa yang masih dalam pengobatan, berapa yang sensitif obat, dan berapa yang resisten. Pencatatan ini harus sinkron dengan sistem pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional - Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
“Seperti pada COVID-19, kita bisa gunakan penanganan pandemi pada TB. Diharapkan negara-negara G20 memberikan peran besar untuk eliminasi TB pada 2030. Bangun inisiatif dan opportunity (peluang) dalam Presidensi G20,” terang Tjandra yang juga Mantan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Kepala Badan Litbangkes Kemenkes RI.
Setiap Jam Kasus Kematian TB di Indonesia
Ketua Pokja Infeksi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Erlina Burhan membeberkan kondisi global TB di dunia. Berdasarkan data Global Tuberculosis Report WHO tahun 2021, jumlah penderita TB di seluruh dunia ada 9,9 juta atau hampir 10 juta orang.
Di Indonesia, kasus baru TB 824.000 per tahunnya dan menempati beban ketiga terbanyak di dunia, setelah India dan Tiongkok.
“Dari 824.000 kasus yang ditemukan dan dilaporkan hanya kira-kira 40 Persen atau senilai 384.000-an dan jumlah kematian juga mendekati 100.000 tepatnya 93.000 kasus. Kalau kita hitung, maka setiap jam ada 11 orang di Indonesia meninggal dunia karena tuberkulosis,” jelas Erlina.
“Kalau melihat rangka ini mestinya kita semua kaget dan berusaha seperti yang kita lakukan terhadap COVID-19, karena kita kaget dengan jumlah kematiannya. Semua orang sekarang ini aware COVID-19, tapi sesungguhnya tuberkulosis tidak kalah berbahayanya.”
Sejak pandemi COVID-19 terjadi perubahan fokus sehingga upaya eliminasi TB tidak lagi menjadi fokus perhatian. Walau begitu, TB sebaiknya juga tak dilupakan.
Apalagi selama pandemi COVID-19 terjadi penurunan kasus TB yang ternotifikasi, sedikit pasien TB yang memeriksakan diri. Dampaknya, sulit diobati dan semakin tinggi tingkat penularan, yang berpotensi meningkatkan kematian.
“Kalau kita lihat lagi dalam angka bahwa tadi saya sampaikan bahwa notifikasi kita cukup rendah hanya 47 persen dari yang seharusnya dan angka kematian lebih tinggi dan angka keberhasilan pengobatan tidak terlalu tinggi, hanya 82 persen,” jelas Erlina.
Advertisement
Belajar dari Penanganan COVID-19
PDPI berkomitmen untuk meningkatkan aktivitas penemuan TB dan notifikasi. Caranya, upaya eliminasi TB dapat belajar dari penanganan COVID-19. Butuh kolaborasi dan kerja sama, baik organisasi profesi dan stakeholder lainnya. Pelibatan elemen dari segala lapisan, baik di tingkat pemerintahan maupun komunitas diperlukan.
“Bukan saja kerja kolaboratif, tentunya harus aktif. Kalau tidak aktif ya tidak ada artinya. Jadi, kita harus aktif secara individu dan organisasi meningkatkan penemuan kasus TB secara aktif dibandingkan dengan pasif saja menunggu pasien di rumah sakit,” Erlina Burhan menjelaskan.
“Layanan tuberkulosis harus ditingkatkan kualitasnya. Bukan saja kolaborasi tetapi juga dengan berbagai upaya dan tidak boleh pasif, harus aktif dan jangan lupa stigma terus ada di masyarakat. Salah satu cara menghilangkan stigma adalah edukasi edukasi yang baik kepada masyarakat melalui online. Mari, kita manfaatkan semua platform digital untuk edukasi masyarakat.”
Upaya diagnosis TB saat ini sudah memakai metode Tes Cepat Molekuler (TCM). TCM ini sebenarnya digunakan untuk diagnosis TB. Adanya pandemi COVID-19, TCM pun dipakai untuk COVID-19, sehingga diagnosis TB agak terabaikan. Meski begitu, diagnosis TB dapat dilakukan melalui pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (BTA).
Pandemi COVID-19, lanjut Erlina, turut berdampak terhadap evaluasi pengobatan TB. Seharusnya pengobatan TB dilakukan sampai selesai. Namun, terjadi penurunan keberhasilan pengobatan karena banyak orang takut keluar rumah dan takut kembali ke rumah sakit. Oleh karena itu, diagnosis TB dan pelayanan TB untuk tatalaksana pengobatan harus ditingkatkan.
“Mulai dari fase awal yang penting harus selesai pengobatan, mestinya dia sembuh. Kalau sembuh, kita sudah melakukan upaya mencegah TB resisten obat. Untuk mengobati dan menyembuhkan pasien TB yang masih sensitif dengan obat itu sama saja dengan kita melakukan pencegahan,” terangnya.
“Nah, untuk sampai selesai pengobatan, evaluasinya harus betul-betul laksanakan dengan baik dan jangan lupa sebetulnya ada kelompok yang juga terabaikan selama ini, yaitu kelompok infeksi TB laten. Kalau mereka tidak diobati, berpotensi untuk menjadi TB aktif.”
Perkuat Penanggulangan TB oleh Masyarakat
Upaya penanggulangan TB, masyarakat dan pemerintah dapat menginvestasikan berbagai cara supaya masyarakat dapat melaksanakan pola hidup sehat. Artinya, bukan saja edukasi tentang gizi yang seimbang, melainkan membuat masyarakat bisa mendapatkan asupan gizi yang baik dan cukup istirahat serta berolahraga teratur.
Hal-hal di atas dapat mengurangi stres dalam rangka meningkatkan daya tahan tubuh. Ketika stres, daya tahan tubuh menurun yang berujung berbahaya bagi penderita TB laten. Tatkala daya tahan tubuhnya turun, ia bisa menjadi TB aktif.
Erlina Burhan mengingatkan penggunaan masker seperti yang dilakukan pada protokol kesehatan COVID-19 bisa diterapkan untuk penanggulangan TB. Yang penting adalah kalau bergejala TB, segera periksa. Gejala TB biasanya batuk, nafsu makan menghilang, demam dan keringat dingin pada malam hari, dan batuk berdarah.
“Jangan memaksakan diri tidak periksa. Ya, supaya tahu statusnya. Semakin dini kasusnya ditemukan, semakin mudah mengobati, sehingga semakin besar kemungkinan untuk sembuh. Untuk infeksi TB laten ini juga harus kita skrining, mana yang tidak diobati, karena memang ada potensi untuk jadi tidak aktif dan kelompok yang berpotensi aktif,” ucapnya.
“Kalau potensi jadi TB aktif, segera diobati. Saya mohon agar masyarakat bisa secara individu menjadi agen edukasi untuk keluarganya untuk lingkungannya tentang gejala cara pencegahan.”
Keterlibatan dari kader dan sukarelawan dalam penanggulangan TB juga penting. Menurut Erlina, ini salah satu bentuk investasi. Sebab, banyak sekali aspek-aspek dari TB ternyata bukan hanya masalah medis, lebih banyak justru non medis.
“Oleh karena itu, mari masyarakat jadilah berinvestasi untuk negaranya menuju eliminasi TB di tahun 2030 dan masyarakat pasti bisa,” pungkas Erlina yang merupakan dokter spesialis paru RS Persahabatan Jakarta.
Advertisement
Butuh Alokasi Dana dan Penguatan Surveilans
Peran Pemerintah melaksanakan program penanggulangan TB dilakukan mulai dari hulu sampai hilir. Misal, menemukan sedini mungkin kasus, melakukan pencegahan dan mengobati, menghilangkan stigma. Implementasi harus diperkuat.
Erlina Burhan menekankan, PDPI usul terkait pendanaan penanggulangan TB. Menurutnya, kurang intervensi dan harus diminta alokasi dana dari pemerintah daerah (pemda). Selama ini, dana penanggulangan TB berasal dari pemerintah pusat, bahkan dari donor dari luar negeri.
“Sudah waktunya, pemerintah daerah juga mengalokasikan dana untuk kegiatan TB mulai sekarang. Karena kita tinggal punya waktu 7 tahun untuk eliminasi TB paru. Investasi-investasi dari sekarang,” imbuhnya.
Pemerintah juga wajib menguatkan surveilans kasus TB. Dari data PDPI, setiap tahun angkanya berubah-ubah karena sistem surveilans tidak terlalu kuat. Demikian juga sistem informasinya tidak tercatat rapi.
“Kami melalui Rumah Sakit Persahabatan dan PDPI juga mengusulkan kepada Pemerintah agar pencatatan TB juga meniru PeduliLindungi dan akses harus dibuka untuk semua. Jangan sampai banyak fasyankes atau masyarakat tidak punya akses yang cukup untuk diagnosis maupun obat-obatan,” ucap Erlina.
“Jangan lupa riset. Dengan riset ini akan meningkatkan quality of care. Jadi, riset bukan saja ingin tahu apa yang terjadi, tapi juga akan memengaruhi kebijakan.”
Penanganan TB Mendesak Dilakukan
Perihal agenda TB dalam Presidensi G20, Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, hal itu akan dibahas melalui Pertemuan Pertama (1st) Health Working Group (HWG) G20 pada 29 - 30 Maret 2022. Kemenkes juga meneguhkan komitmen segera mengakhiri TB.
“Pada pertemuan tingkat tinggi pertama (HWG G20), agenda secara khusus membahas TB. Pertemuan ini tentunya akan menjadi bagian untuk memperkuat kembali komitmen internasional mengeliminasi TB pada tahun 2030, khususnya pasca pandemi COVID-19,” ujar Nadia saat saat konferensi pers The 1st G20 Health Working Group (HWG) pada Rabu, 23 Maret 2022.
“Inisiatif menjadikan isu TB menjadi tanggung jawab bersama dan harus kembali pada target yang telah disepakati sebelum pandemi COVID-19.”
Laporan Global Tuberculosis Report tahun 2021 menunjukkan, diperkirakan ada 24.000 kasus TBC resisten terhadap obat TB dan estimasi korban kematian akibat TB diperkirakan 93.000 jiwa per tahun. TB bukan hanya berdampak terhadap masalah kesehatan tapi akan berdampak terhadap permasalahan ekonomi yang cukup besar bagi negara.
Untuk melawan TB, anggaran nasional dibutuhkan kurang lebih 515 juta dolar Amerika atau sebesar Rp7,3 triliun, baik itu merupakan direct cost maupun indirect cost.
Penanganan TB, menurut Nadia yang juga menjabat Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes, mendesak dilakukan bagi seluruh negara, terutama di negara-negara G20. Apabila tidak ada langkah yang serius ke depan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan akan ada satu juta penderita TB per tahun sepanjang 2020 - 2025 yang akan datang.
“Peringatan World TB Day juga menjadi momentum yang tepat untuk mengajak seluruh sektor meningkatkan kampanye kesadaran informasi terkait TB. Kita tahu dalam penanggulangan sebuah penyakit, kolaborasi pemerintah dan dukungan masyarakat menjadi kunci utama untuk kita bisa menyelesaikan berbagai penyakit, termasuk tuberkulosis,” tutupnya.
“Masyarakat bisa ikut berperan aktif dalam mengkampanyekan pencegahan dan pengetahuan dengan perilaku hidup bersih dan sehat, menyumbangkan tenaga pikiran untuk mencapai kesembuhan bagi pasien TB serta bentuk-bentuk dukungan yang sangat berarti. Masyarakat merupakan kunci kita untuk menyelesaikan masalah tuberkulosis di negara kita ini.”
Advertisement