Liputan6.com, Jakarta Pertamina memastikan bahwa stok biosolar (solar) saat ini dalam kondisi aman dan berada di level 23 hari. Antrian solar yang terjadi di beberapa wilayah dipastikan bukan karena masalah stok Pertamina, melainkan karena adanya gap pada suplai yang diatur melalui kuota dan demand serta adanya disparitas harga Solar subsidi dan Non subsidi mencapai Rp.7.800 per liter yang berpotensi terjadinya shifting oleh pihak-pihak yang tidak berhak atas solar subsidi.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menjelaskan bahwa selisih harga sebesar Rp.7.800 ini merupakan besaran yang harus ditanggung Pemerintah dalam bentuk subsidi.
Advertisement
"Tingginya harga minyak dunia menyebabkan disparitas harga makin jauh (antara Solar Subsidi dengan Non Subsidi). Ini yang mendorong shifting konsumsi atau ada yang tidak tepat sasaran. Kami menggandeng Aparat Penegak Hukum untuk lakukan pengendalian dan monitoring di lapangan agar Solar Subsidi sesuai dengan yang diperuntukkan," tuturnya.
Selain disparitas harga, permasalahan Solar Subsidi di lapangan juga dipengaruhi oleh kuota solar subsidi yang mengalami penurunan sebesar 5% dibandingkan tahun lalu. Untuk alokasi kuota Solar Subsidi yang harus disalurkan Pertamina di tahun 2022 ini sebesar 14,9 juta Kilo Liter (KL), sedangkan tahun lalu sebesar 15,4 juta KL.
Padahal, seiring menurunnya pandemi, perekonomian terus pulih dan tumbuh sebesar 5% yang berdampak terhadap mobilitas dan aktivitas usaha yang juga meningkat sehingga demand atau permintaan solar meningkat, karena logistik dan produksi pabrik full capacity.
“Gap inilah juga yang menyebabkan terjadinya masalah. Jadi demand-nya naik (sudah over kuota) 10%, tetapi dari sisi suplai kuotanya turun 5%. Oleh karena itu, kami memohon dukungan, jika memang Solar Subsidi bisa meningkatkan lagi pertumbuhan ekonomi, kuotanya perlu disesuaikan agar sesuai kebutuhan masyarakat," ujarnya.
Kuota Solar Subsidi
Nicke menuturkan meskipun kuota Solar Subsidi tahun ini diberikan ke Pertamina sebesar 14,9 juta KL, namun diprediksi kebutuhan di lapangan mencapai sebesar 16 juta KL. Sehingga sampai akhir tahun akan terjadi peningkatan sekitar 14%.
Dari total penjualan Solar Pertamina, tutur Nicke, porsi Solar Subsidi mencapai 93% sementara Solar Non Subsidi hanya 7%. Kondisi ini perlu dilihat, apakah betul untuk menunjang sektor logistik dan industri yang tidak termasuk industri besar itu mencapai 93%.
“Ada aturannya dalam bentuk Perpres, mungkin diperlukan level Kepmen yang kemudian bisa digunakan sebagai dasar di lapangan Juklak Juknis-nya untuk mengatur industri apa yang boleh dan tidak boleh (menggunakan Solar Subsidi, kemudian berapa volumenya untuk masing-masing," tutupnya.
(*)
Advertisement