Penghapusan Nama Madrasah di RUU Sisdiknas, PGMNI: Kami Akan Lawan

Wacana penghapusan ini menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap keberadaan madrasah yang sudah eksis selama puluhan tahun.

oleh Bam Sinulingga diperbarui 30 Mar 2022, 21:03 WIB
Ratusan siswa Madrasah Aliah Negeri (MAN) 1 Kota Gorontalo begitu antusias mengikuti vaksinasi Covid-19. Foto: Humas (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Polemik penghilangan nama madrasah dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), mendapat protes dari berbagai kalangan terutama para guru.

Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Perkumpulan Guru Madrasah Nasional Indonesia (PGMNI) yang digelar di Asrama Haji Bekasi, para guru yang datang dari seluruh wilayah Indonesia itu menolak keras penghilangan nama madrasah di RUU Sisdiknas.

Ketua Umum PB PGMNI, Heri Purnama, menilai wacana penghapusan menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap keberadaan madrasah yang sudah eksis selama puluhan tahun.

"Ini adalah kabar yang sangat mengecewakan kami. Apa maksudnya? Apakah akan menghilangkan madrasah dari negeri ini atau mau menganggap madrasah sama seperti majelis taklim atau apa, ini harus jelas," kata Heri, Rabu (30/3/2022).

Menurutnya, selama ini pemerintah kerap mengesampingkan kesejahteraan para guru madrasah, utamanya dengan status guru honorer yang masih disandang 95 persen guru madrasah di seluruh Indonesia.

Dengan status tersebut, kata dia, honor yang diperoleh para guru madrasah hanya kisaran Rp 200 ribu per bulan. Selain itu, anggaran dari Kementerian Agama (Kemenag) untuk madrasah hanya sebesar Rp 14 triliun, berbeda jauh dari Kemendikbud yang mencapai Rp 575 triliun.

"Kami juga berharap pemerintah memiliki keadilan secara merata terhadap kebijakan pendidikan nasional. Kalau kita ini ada dalam UU Sisdiknas, ada dalam UU guru dan dosen, berarti kita harus memiliki hak yang sama terhadap anggaran pendidikan di tingkat nasional," tegas Heri.

PGMNI menegaskan akan melakukan perlawanan jika wacana penghapusan madrasah dalam RUU Sisdiknas tidak dicabut, maka pihaknya akan melakukan perlawanan demi memperoleh keadilan bagi kesejahteraan para guru madrasah.

"Kalau sampai betul madrasah dihilangkan dalam rancangan UU sistemnas, insya Allah kami akan melawan. Karena ini adalah persoalan besar yang menyangkut masa depan guru-guru madrasah dengan status sosialnya, payung hukum dari madrasah terhadap sistem pendidikan nasional," papar Heri.

Sementara itu pihak Kemenag yang diwakili Kepala Sub Direktorat Bina MI dan MTS, Ainurrofiq, menyampaikan pihaknya akan membahas masalah ini lebih lanjut.

"Kami akan bicarakan kembali, secepatnya," ujar Ainurrofiq.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Kata Nadiem Makarim

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menanggapi suara masyarakat terkait frasa madrasah yang hilang dari RUU Sisdiknas. Dia menegaskan, pihaknya tak ada keinginan untuk melakukan hal tersebut.

"Dari awal, tidak ada keinginan ataupun rencana untuk menghapus sekolah madrasah atau bentuk-bentuk satuan pendidikan lain dari sistem pendidikan nasional (Sisdiknas)," kata Nadiem dalam siaran di Instagramnya yang bercontreng biru, dikutip Rabu (30/3/2022).

Dia melanjutkan, langkah tersebut sebagai tindakan yang di luar nalar. Dirinya tak pernah terpikir sedikit pun untuk menghapus madrasah dalam RUU Sisdiknas.

"Sebuah hal yang tidak masuk akal dan tidak pernah terbersit sekali pun dipindahkan sekolah maupun madrasah secara substansi tetap menjadi bagian dari jalur jalur pendidikan yang diatur dalam batang tubuh dari revisi RUU," ujar dia.  

Namun, penambahan secara spesifik seperti SD dan MI SMP dan MTS atau SMA SMK dan SMA akan dipaparkan di bagian penjelasan. Tujuannya adalah agar penamaan bentuk satuan pendidikan tidak diikat di tingkat undang-undang sehingga lebih fleksibel dan dinamis

"Adapun 4 hal pokok yang diformulasikan dalam RUU Sisdiknas antara lain kebijakan standar pendidikan yang mengakomodasi keragaman antara daerah dan inovasi. Kedua kebijakan wajib belajar dilengkapi dengan kebijakan hak belajar, ketiga, kebijakan penataan profesi guru agar semakin inklusif dan profesional dan empat kebijakan peningkatan otonomi serta perbaikan tata kelola pendidikan tinggi," papar Nadiem.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya